Kategori
Agama Islam
Hukum
Kimia
Perikanan dan Kelautan
Arsitektur
Ilmu Komputer
Komunikasi
Pertanian
bahasa dan sastra
ilmu terapan
Manajemen
Peternakan
Biologi
Kebidanan
Matematika
Psikologi
Bisnis
Kedokteran
Metodologi Penelitian
Resep
Ekonomi
Keguruan & Ilmu Pendidikan
Motivasi
Sains dan Teknologi
Farmasi
Buku Kehutanan
Novel
Sosial dan Politik
Filsafat
Keperawatan
Pariwisata
Sosial Budaya
Geografi
Kesehatan
Pendidikan
Teknik
Reseller
Pengadaan
Promo
Login
Blog
Cek Resi
Kategori
Agama Islam
Hukum
Kimia
Perikanan dan Kelautan
Arsitektur
Ilmu Komputer
Komunikasi
Pertanian
bahasa dan sastra
ilmu terapan
Manajemen
Peternakan
Biologi
Kebidanan
Matematika
Psikologi
Bisnis
Kedokteran
Metodologi Penelitian
Resep
Ekonomi
Keguruan & Ilmu Pendidikan
Motivasi
Sains dan Teknologi
Farmasi
Buku Kehutanan
Novel
Sosial dan Politik
Filsafat
Keperawatan
Pariwisata
Sosial Budaya
Geografi
Kesehatan
Pendidikan
Teknik
Reseller
Pengadaan
Promo
Login
Blog
Cek Resi
Rp
0
0
Cart
Search
MENU
MENU
Kategori
Agama Islam
Arsitektur
Bahasa dan Sastra
Biologi
Bisnis
Ekonomi
Farmasi
Filsafat
Geografi
Hukum
Ilmu Komputer
Ilmu Terapan
Kebidanan
Kedokteran
Keguruan & Ilmu Pendidikan
Kehutanan
Keperawatan
Kesehatan
Kimia
Komunikasi
Manajemen
Matematika
Metodologi Penelitian
Motivasi
Novel
Pendidikan
Buku Penerbangan
Perikanan dan Kelautan
Pertanian
Peternakan
Psikologi
Resep
Sains dan Teknologi
Sosial Budaya
Sosial dan Politik
Teknik
Sejarah
Pengasilan Tambahan
Reseller
Affiliate
Promo
Penerbitan
Pembelian Buku
Pengadaan Buku
Beli Buku
Beli Ebook
Blog
Ebook Reseller
Cek Resi
Search
Search
Rp
0
0
Cart
Tentang Penulis
Teori dan Aplikasi Teori dan Aplikasi Lailatus Sa’adah Moh. Ja’far Sodiq Maksum BALANCED SCORECARD TEORI DAN APLIKASI Lailatus Sa’adah Moh. Ja’far Sodiq Maksum Desain cover Herlambang Rahmadhani Sumber www.freepik.com Tata letak : Haris Ari Susanto Ukuran : xiv, 152 hlm, Uk: 15.5×23 cm ISBN : 978-602-475-942-1 Cetakan Pertama: November 2018 Hak Cipta 2018, Pada Penulis Isi diluar tanggung jawab percetakan Copyright © 2018 by Deepublish Publisher All Right Reserved Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit. PENERBIT DEEPUBLISH (Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA) Anggota IKAPI (076/DIY/2012) Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581 Telp/Faks: (0274) 4533427 Website: www.deepublish.co.id www.penerbitdeepublish.com E-mail:
[email protected]
KATA PENGANTAR Dengan mengucap syukur kepada Alhamdullillah atas kehadirat Alloh SWT, yang telah memberikan jalan kemudahan dalam proses penerbitan Buku Balanced Scorecard, teori dan penelitian sehingga dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Balanced Scorecard merupakan bagian dari mata kuliah Akuntansi Manajemen yang mempelajari tentang pengukuran kinerja perusahaan yang terdiri dari empat perspektif yaitu perspektif keuangan, perspektif kepuasan pelanggan, perspektif proses bisnis internal dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Buku ini disusun dalam rangka pencapaian luaran dari penelitian hibah PDP (penelitian dosen pemula). Penelitian ini dibiayai oleh DRPM. Buku ini disusun dengan sangat sederhana sehingga siapapun dapat membaca dan memahami serta dapat mengolah informasi yang terkandung dalam pengukuran kinerja suatu perusahaan. Ucapan terima kasih yang sedalam dalamnya kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementrian Riset, teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang telah membiayai penelitian dan penulisan buku ini. Ucapan terima kasih yang sedalam dalamnya juga kepada semua pihak yang membantu penulisan buku ini. Dukungan dari penulis sebelumnya dari para ahli sebagaimana tercantum dalam daftar pustaka. Ucapan terimakasih kepada keluarga tercinta yang selalu mendukung penulisan buku ini. Ucapan terimakasih juga diberikan kepada rekan dan sahabat dosen Fakultas Ekonomi UNWAHA. Penulisan buku ini dirasa masih belum sempurna masih banyak kekurangan dan kelemahannya. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati menerima masukan saran dan kritik oleh siapapun demi kebaikan dan kesempurnaan materi penulisan. Semoga buku ini dapat memberikan manfaat kepada banyak pihak yang menggunakannya. Terima kasih. Jombang, Agustus 2018. Penulis. DAFTAR ISI KATA PENGANTAR v DAFTAR ISI vii DAFTAR GAMBAR xi DAFTAR TABEL xii BAB 1 PENGUKURAN KINERJA 1 A. Pendahuluan 1 B. Pengertian Kinerja 2 C. Faktor- factor yang Mempengaruhi Kinerja 3 D. Pengertian Pengukuran Kinerja 4 E. Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja 7 F. Karakteristik Pengukuran Kinerja 9 G. Prinsip Pengukuran Kinerja 13 H. Tolak Ukur Pengukuran Kinerja 13 Rangkuman. 16 Soal Latihan : 17 Referensi 18 BAB 2 BALANCED SCORECARD 19 A. Pendahuluan. 19 B. Pengertian Balanced Scorecard 21 C. Sejarah Singkat Balanced Scorecard 24 D. Karakteristik dan Mekanisme Balanced Scorecard. 25 E. Empat Perspektif Balanced Scorecard 28 F. Keunggulan Balanced Scorecard 31 G. Faktor-Faktor yang Memicu Kebutuhan Perusahaan untuk Menggunakan Balanced Scorecard 33 H. Kriteria Pengguna Konsep Balanced Scorecard 34 I. Pendekatan Balanced Scorecard dalam Sistem Pengukuran Kinerja 35 Rangkuman. 40 Soal Latihan 41 Referensi 42 BAB 3 PERSPEKTIF KEUANGAN 43 A. Pendahuluan 43 B. Pengertian kinerja keuangan 44 C. Pengukuran kinerja Keuangan 46 D. Analisis Rasio Keuangan 48 E. Tujuan Kinerja Keuangan 62 Rangkuman 63 Soal Latihan. 64 Referensi. 65 BAB 4 PERSPEKTIF KEPUASAN PELANGGAN 67 A. Pendahuluan 67 B. Ukuran Pokok Perspektif Kepuasan Pelanggan. 68 C. Pangsa Pasar 71 D. Kepuasan pelanggan. 73 E. Retensi pelanggan. 79 F. Profitabilitas Pelanggan 81 Rangkuman. 84 Soal Latihan. 85 Referensi 87 BAB 5 PERSPEKTIF PROSES BISNIS INTERNAL 89 A. Pendahuluan 89 B. Ukuran Pokok Perspektif Bisnis Internal 90 C. Proses Operasi Dan Penyampaian Jasa 94 D. Layanan Purna Jual 99 Rangkuman 110 Soal Latihan 111 Refernsi 112 BAB 6 PERSPEKTIF PEMBELAJARAN DAN PERTUMBUHAN 113 A. Pendahuluan 113 B. Ukuran Pokok Perspektif Pembelajaran Dan Pertumbuhan 114 C. Kepuasan Kerja 117 D. Retensi Pekerja 121 E. Produktivitas Kerja. 125 Rangkuman 130 Soal Latihan 131 Referensi 133 BAB 7 IMPLEMENTASI BALANCED SCORECARD PADA STUDI KASUS RUMAH SAKIT X 135 A. Hasil penilaian kinerja perspektif keuangan 135 B. Hasil penilaian kinerja perspektif Konsumen 138 C. Hasil penilaian kinerja perspektif Proses Internal Bisnis. 144 D. Hasil penilaian kinerja perspektif Pembelajaran dan pertumbuhan. 147 RIWAYAT HIDUP PENULIS 151 DAFTAR GAMBAR Gambar 4.1 Perspektif Proses Bisnis Internal-Model Rantai Nilai Generik proses inovasi proses operasi proses layanan purna jual 93 DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Kriteria Tingkat Ekonomis Kinerja Keuangan 57 Tabel 3.2 Kriteria Tingkat Efisiensi Kinerja Keuangan 57 Tabel 3.3 Kriteria Tingkat Efektivitas Kinerja Keuangan 58 Tabel 4.1 Ukuran pokok perspektif pelanggan 69 Tabel 7.1 Hasil Pengukuran Rasio Ekonomis 136 Tabel 7.2 Hasil Pengukuran Rasio Efisiensi 136 Tabel 7.3 Hasil Pengukuran Rasio Efektifitas 136 Tabel 7.4 Hasil Pengukuran NPM (Net Profit Margin) 137 Tabel 7.5 Hasil Pengukuran ROI 137 Tabel 7.6 Pengukuan Kepuasan Pasien Rawat Inap 138 Tabel 7.7 Pengukuan Kepuasan Pasien Rawat Jalan 139 Tabel 7.8 Pengukuran Profitabilitas Konsumen 139 Tabel 7.9 Pengukuran Retensi tahun 2016 140 Tabel 7.10 Pengukuran Retensi tahun 2017 140 Tabel 7.11 Pengukuran Akuisis tahun 2016 141 Tabel 7.12 Pengukuran Akuisis tahun 2017 141 Tabel 7.13 Pengukuran Tabulasi Silang Frekuensi Kunjungan Berobat dengan Kepuasan Pasien Rawat Inap 141 Tabel 7.14 Pengukuran Tabulasi Silang Frekuensi Kunjungan Berobat dengan Kepuasan Konsumen Rawat Jalan 143 Tabel 7.15 Hasil Operasi Internal Bisnis 145 Tabel 7.16 Pengukuran Produktivitas Karyawan 148 Tabel 7.17 Hasil Pengukuran Perputaran Karyawan 148 Tabel 7.18 Pengukuran Kepuasan Karyawan 149 Tabel 7.19 Tabulasi silang antara masa kerja dengan kepuasan karyawan 149 PENGUKURAN KINERJA A. PENDAHULUAN Pengelolaan sumber daya manusia (pegawai) sangat dibutuhkan agar tercapainya tujuan-tujuan yang ingin dicapai maka sangat perlu adanya pengukuran kinerja pegawai. Pengukuran kinerja dikatakan penting mengingat melalui pengukuran kinerja dapat diketahui seberapa tepat pegawai telah menjalankan fungsinya. Ketepatan pegawai dalam dalam menjalankan fungsinya akan sangat berpengaruh terhadap pencapaian kinerja organisasi secara keseluruhan. Selain itu, hasil pengukuran kinerja pegawai akan memberikan informasi penting dalam proses pengembangan pegawai. Materi yang diuraikan dalam bab ini tentang pengertian kinerja, faktor yang mempengaruhui kinerja, pengukuran kinerja, manfaat dan tujuan, karakteristik pengukuran, prinsip pengukuran dan ukuran kinerja. 1. Kompetensi Dasar Kompetensi materi mata ajar ini adalah pembaca diharapkan mampu memahami pengetahuan tentang pengukuran kinerja dari pengertian, faktor, prinsip, karakteristik pengukuran, prinsip pengukuran dan ukuran penilaian sebagai modal pengetahuan awal untuk mengenal kinerja secara keseluruhan. 2. Indikator Indikator keberhasilan diukur dengan kriteria penilaian berdasarkan aspek-aspek atau konsep-konsep yang dinilai mulai dari tingkat sempurna sampai tingkat terendah. Indikator penilaian dihitung dengan menggunakan rumus berikut : Arti tingkat penguasaan yang diperoleh : 85% – 100% = Sangat Baik 70% – 84% = Baik 55% – 69% = Cukup 0% – 54% = Kurang 3. Materi Pokok Materi pokok pada bab ini akan mambahas tentang pengertian kinerja, faktor-faktor yang mempengaruhinya, pengertian pengukuran kinerja, tujuan dan manfaat pengukuran kinerja, prinsip kinerja dan ukuran kinerja. 4. Tujuan Setelah mempelajari materi ajar ini pembaca diharapkan : a. Mampu menjelaskan pengertian kinerja ; b. Mampu memberikan penjelasan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja; c. Mampu menjelaskan tujuan dan manfaat pengukuran kinerja; d. Mampu menjelaskan karakteristik pengukuran kinerja; e. Mampu menjelaskan prinsip pengukuran kinerja; f. Mampu menjelaskan ukuran pengukuran kinerja; B. Pengertian Kinerja Kinerja merupakan hasil kerja yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Pada dasarnya pengertian kinerja dapat dimaknai secara beragam. Beberapa pakar memandangnya sebagai hasil dari suatu proses penyelesaian pekerjaan, sementara sebagian yang lain memahaminya sebagai perilaku yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Kinerja juga dapat digambarkan sebagai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, visi perusahaan yang tertuang dalam perumusan strategi planning suatu perusahaan. Penilaian tersebut tidak terlepas dari proses yang merupakan kegiatan mengolah masukan menjadi keluaran atau penilaian dalam proses penyusunan kebijakan/program/kegiatan yang d ianggap penting dan berpengaruh terhadap pencapaian sasaran dan tujuan Menurut Ilgen and Schneider (Williams, 2002): “Performance is what the person or system does”. Hal senada dikemukakan oleh Mohrman et al (Williams, 2002) sebagai berikut: “A performance consists of a performer engaging in behavior in a situation to achieve results”. Dari kedua pendapat ini, terlihat bahwa kinerja dilihat sebagai suatu proses bagaimana sesuatu dilakukan. Jadi, pengukuran kinerja dilihat dari baik-tidaknya aktivitas tertentu untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Menurut Mangkunegara, Anwar Prabu, kinerja diartikan sebagai : ”Hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.” Sedangkan menurut Nawawi H. Hadari, yang dimaksud dengan kinerja adalah : ”Hasil dari pelaksanaan suatu pekerjaan, baik yang bersifat fisik/mental maupun non fisik/non mental.” Kinerja dapat dipandang dari perspektif hasil, proses, atau perilaku yang mengarah pada pencapaian tujuan. Oleh karena itu, tugas dalam konteks penilaian kinerja, tugas pertama pimpinan organisasi adalah menentukan perspektif kinerja yang mana yang akan digunakan dalam memperjelas kinerja dalam organisasi yang dipimpinnya. C. Faktor- factor yang Mempengaruhi Kinerja Kinerja tidak terjadi dengan sendirinya. Dengan kata lain, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja. Adapun faktor-faktor tersebut menurut Armstrong (1998) adalah sebagai berikut: 1. Faktor individu (personal factors). Faktor individu berkaitan dengan keahlian, motivasi, komitmen, dll. 2. Faktor kepemimpinan (leadership factors). Faktor kepemimpinan berkaitan dengan kualitas dukungan dan pengarahan yang diberikan oleh pimpinan, manajer, atau ketua kelompok kerja. 3. Faktor kelompok/rekan kerja (team factors). Faktor kelompok/rekan kerja berkaitan dengan kualitas dukungan yang diberikan oleh rekan kerja. 4. Faktor sistem (system factors). Faktor sistem berkaitan dengan sistem/metode kerja yang ada dan fasilitas yang disediakan oleh organisasi. 5. Faktor situasi (contextual/situational factors). Faktor situasi berkaitan dengan tekanan dan perubahan lingkungan, baik lingkungan internal maupun eksternal. Dari uraian yang disampaikan oleh Armstrong, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kinerja seorang pegawai. Faktor-faktor ini perlu mendapat perhatian khusus dari pimpinan organisasi jika pegawai diharapkan dapat memberikan kontribusi yang optimal. Motivasi kerja dan kemampuan kerja merupakan dimensi yang cukup penting dalam penentuan kinerja. Motivasi sebagai sebuah dorongan dalam diri pegawai akan menentukan kinerja yang dihasilkan. Begitu juga dengan kemampuan kerja pegawai, dimana mampu tidaknya karyawan dalam melaksanakan tugas akan berpengaruh terhadap kinerja yang dihasilkan. Semakin tinggi kemampuan yang dimiliki karyawan semakin menentukan kinerja yang dihasilkan. D. Pengertian Pengukuran Kinerja Pengukuran kinerja adalah proses di mana organisasi menetapkan parameter hasil untuk dicapai oleh program, investasi, dan akusisi yang dilakukan. Proses pengukuran kinerja seringkali membutuhkan penggunaan bukti statistik untuk menentukan tingkat kemajuan suatu organisasi dalam meraih tujuannya. Tujuan mendasar di balik dilakukannya pengukuran adalah untuk meningkatkan kinerja secara umum. Pengukuran Kinerja juga merupakan hasil dari suatu penilaian yang sistematik dan didasarkan pada kelompok indikator kinerja kegiatan yang berupa indikator-indikator masukan, keluaran, hasil, manfaat, dan dampak.. Pengukuran kinerja digunakan sebagai dasar untuk menilai keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi. Sistem pengukuran kinerja merupakan salah satu elemen penting dari mekanisme sistem pengendalian manajemen. Secara umum sistem pengendalian manajemen termasuk didalamnya sistem pengukuran kinerja yang merupakan suatu proses yang menjamin dan memastikan bahwa orang-orang yang berada di dalam suatu organisasi melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan tujuan dan strategi perusahaan. Hal serupa dengan penjelasan dari Merchant dan Van Der Stade (2012) yang menyatakan bahwa sistem pengukuran kinerja merupakan komponen utama dari sistem pengendalian manajemen yaitu the process by which management: encougrages, enabels, or, sometimes forcess, employees, to act in the organization best interest. Demikian halnya Ittner, Lacker, dan Randall (2003) yang menyatakan bahwa sistem pengukuran kinerja berperan untuk membantu mengkomunikasikan harapan-harapan organisasi, memonitor kemajuan dan perkembangan, menyediakan informasi umpan balik dan memotivasi dalam pencapaian kinerja. Suatu sistem pengukuran kinerja komprehensif menyediakan suatu sistem pengukuran kinerja yang menggambarkan bagian penting dari operasi dari suatu unit bisnis dan mengintegrasikan pengukuran dengan strategi dan lintas rantai nilai yang diyakini dapat meningkatkan kinerja manajerial karena manajer mendapatkan informasi secara keseluruhan bagian tanggung jawabnya (Kaplan dan Norton, 1996; Epstein dan Manzoni, 1998; Atkinson dan Epstein, 2000; Hall 2008). Informasi kinerja yang lebih komprehensif akan membantu mengklarifikasi tujuan dan peran startegis dari seorang manajer dan perilaku yang sesuai untuk memenuhi peran yang diharapkan. Collins (1982) mengargumentasikan bahwa system akuntansi manajemen termasuk di dalamnya system pengukuran kinerja dapat digunakan untuk menginformasikan kepada para individu tentang apa yang diharapkan dari mereka dalam perannya. Secara khusus, informasi kinerja yang komprehensif dapat membantu untuk mengklarifikasi peran-peran seseorang dalam suatu organisasi dengan penetapan tujuan-tujuan khusus dan prilaku yang sesuai terkait dengan perannya dalam pekerjaan (Ilgen et al., 1979). Pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Pengukuran kinerja juga digunakan untuk menilai pencapaian tujuan dan sasaran (James Whittaker, 1993) Sedangkan menurut Junaedi (2002) “Pengukuran kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa, ataupun proses”. Artinya, setiap kegiatan perusahaan harus dapat diukur dan dinyatakan keterkaitannya dengan pencapaian arah perusahaan di masa yang akan datang yang dinyatakan dalam misi dan visi perusahaan. Sistem pengukuran kinerja secara komprehensif dapat meningkatkan kejelasan tujuan dari seorang manajer dengan penyediaan informasi tentang strategi dan operasi perusahaan, yang dapat membantu manajer untuk memahami dengan lebih baik tentang perannya dalam suatu organisasi yaitu untuk meningkatkan kinerjanya dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan. Hal ini membantu manajer untuk mengklarifikasi dan mengkomunikasikan arah strategi, dan membuat fitur-fitur dimensi dari kinerja yang berguna untuk menjelaskan operasi perusahaan yang berbeda (Lynch dan Cross, 1992; Kaplan dan Norton, 1996; Simons, 2000). Sistem pengukuran kinerja yang lebih komprehensif seharusnya meningkatkan pemahaman seorang manajer tentang komponen-komponen peranannya dan apa yang diharapkan dari mereka, terutama untuk mencapai kinerja yang lebih baik. Dengan demikian sistem pengukuran kinerja merupakan suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer perusahaan menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur keuangan dan non keuangan. Hasil pengukuran tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik yang akan memberikan informasi tentang prestasi pelaksanaan suatu rencana dan titik dimana perusahaan memerlukan penyesuaian-penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan pengendalian. E. Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja Batasan tentang pengukuran kinerja adalah sebagai usaha formal yang dilakukan oleh organisasi untuk mengevaluasi hasil kegiatan yang telah dilaksanakan secara periodik berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan pokok dari pengukuran kinerja adalah untuk memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya agar menghasilkan tindakan yang diinginkan (Mulyadi & Setyawan 1999). Secara umum tujuan dilakukan pengukuran kinerja adalah (Gordon, 1993): 1. Meningkatkan motivasi karyawan dalam memberikan kontribusi kepada organisasi. 2. Memberikan dasar untuk mengevaluasi kualitas kinerja masing-masing karyawan. 3. Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan sebagai dasar untuk menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan dan pengembangan karyawan. 4. Membantu pengambilan keputusan yang berkaitan dengan karyawan, seperti produksi, transfer dan pemberhentian. Pengukuran kinerja dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu tahap persiapan dan tahap pengukuran. Tahap persiapan atas penentuan bagian yang akan diukur, penetapan kriteria yang dipakai untuk mengukur kinerja, dan pengukuran kinerja yang sesungguhnya. Sedangkan tahap pengukuran terdiri atas pembanding kinerja sesungguhnya dengan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya dan kinerja yang diinginkan (Mulyadi, 2001). Pengukuran kinerja memerlukan alat ukur yang tepat. Dasar filosofi yang dapat dipakai dalam merencanakan sistem pengukuran prestasi harus disesuaikan dengan strategi perusahaan, tujuan dan struktur organisasi perusahaan. Sistem pengukuran kinerja yang efektif adalah sistem pengukuran yang dapat memudahkan manajemen untuk melaksanakan proses pengendalian dan memberikan motivasi kepada manajemen untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya. Manfaat sistem pengukuran kinerja adalah (Mulyadi & Setyawan, 1999) : 1. Menelusuri kinerja terhadap harapan pelanggannya dan membuat seluruh personil terlibat dalam upaya pemberi kepuasan kepada pelanggan. 2. Memotivasi pegawai untuk melakukan pelayanan sebagai bagian dari mata-rantai pelanggan dan pemasok internal. 3. Mengidentifikasi berbagai pemborosan sekaligus mendorong upaya-upaya pengurangan terhadap pemborosan tersebut. 4. Membuat suatu tujuan strategi yang masanya masih kabur menjadi lebih kongkrit sehingga mempercepat proses pembelajaran perusahaan. Sedangkan menurut Supriyono (1999) dalam bukunya yang berjudul Manajemen Biaya: Suatu Reformasi Pengelolaan Bisnis, manfaat penting pengukuran kinerja adalah : 1. Menelusuri kinerja untuk memenuhi harapan-harapan konsumen. 2. Menjamin keterkaitan konsumen internal dengan pemasok internal. 3. Mengidentifikasi pemborosan. 4. Membuat tujuan strategi lebih kongkrit. 5. Membangun konsensus ke perilaku keselarasan tujuan. 6. Mengkaitkan akuntansi aktivitas dengan ukuran kinerja. 7. Memusatkan perhatian pada driver biaya. Berikut ini akan dipaparkan beberapa sasaran pengukuran kinerja perusahaan adalah (Atkinson et al 2000) : 1. Keefektifan sistem pengukuran sebagai alat pengendalian a. Sistem pengukuran kinerja harus membuat seluruh anggota organisasi terfokus pada tujuan organisasi dan mencerminkan bagaimana sikap individu atau kelompok menyumbang pada keberhasilan organisasi. b. Sistem pengukuran kinerja harus memberi proporsi yang berbeda untuk dapat menunjukkan kemampuan level organisasi untuk mempengaruhi hasil yang dicapai. 2. Pengukuran kinerja sebagai alat manajemen aktivitas a. Memperhatikan setiap kegiatan dalam organisasi dari perspektif pelanggan. b. Menganalisis setiap aktivitas kinerja manajemen dengan ukuran kinerja yang customer validated. c. Mempertimbangkan semua tahap kerja aktivitas secara komprehensif yang mempengaruhi pelanggan. d. Memberikan umpan balik untuk membantu anggota organisasi mengidentifikasikan masalah dan peluang perbaikan yang mungkin dilakukan. Untuk itu pengukuran kinerja harus dapat berfungsi sebagai warning signal (peringatan adanya masalah) dan diagnostic signal (tanda yang mengidentifikasikan masalah tersebut dan petunjuk untuk menyelesaikan). 3. Pengukuran kinerja sebagai sistem motivasi a. Sistem pengukuran kinerja harus adil dimana sistem mengukur apa yang dapat dikendalikan dan menjadi tanggungjawab karyawan / sub unit, juga menetapkan standar yang jelas sebagai benchmark. b. Sistem pengukuran kinerja harus mengukur objek secara akurat dan sistematis sehinga ada hubungan yang jelas antara kinerja dengan hasil. F. Karakteristik Pengukuran Kinerja Secara ideal, menurut Brandon dan Dortina (1997) dalam bukunya yang berjudul Management Accounting bahwa pengukuran kinerja yang baik harus mempunyai karakteristik, antara lain: “1. Kelayakan (Appropriateness), 2. Bebas dari kekeliruan pengukuran (Freedom from measurement error), 3. Tepat waktu (Timeliness), 4. Dapat dimengerti (Understandability), 5. Keefektipan biaya penilaian (Cost effectiveness).” Berikut ini penjelasan dari karakteristik pengukuran kinerja tersebut di atas : 1. Kelayakan (Appropriateness) Pengukuran harus menangkap arti dari variabel-variabel kunci yang saling berhubungan, dan juga unit yang bertanggung jawab untuk pengukuran harus dapat mempengaruhi hasilnya. Manajer dari departemen yang berbeda akan mengevaluasi variabel yang sama dengan cara pengukuran yang berbeda. Setiap pengukuran harus tepat untuk setiap level organisasi dimana pengukuran itu digunakan. 2. Bebas dari kekeliruan pengukuran (Freedom from measurement error) Hal ini mengacu pada 2 jenis, yaitu: variasi random (random variable) dan kekeliruan bias (bias error). Variasi random merupakan perbandingan suatu nilai itu sendiri maupun hasil dari keterbatasan instrumen pengukuran, variasi random dapat diminimalisasi dengan mengukur variabel yang diteliti. Kekeliruan bias adalah perbedaan yang sistematis dimana cenderung untuk menutupi salah satu nilai yang benar, kekeliruan bias merupakan hasil dari instrumen pengukuran. 3. Tepat waktu (Timeliness) Hasil pengukuran yang tepat waktu sangat dibutuhkan terutama untuk tujuan pengendalian dan pengambilan keputusan. Masing-masing level manajemen membutuhkan hasil pengukuran yang berbeda-beda. Misalnya manajemen bahwa mungkin membutuhkan hasil pengukuran setiap hari untuk kepentingan operasi mereka, namun tidak memungkinkan untuk manajemen tingkat menengah dan tingkat atas. 4. Dapat dimengerti (Understandability) Pengukuran yang efektif adalah pengukuran yang mudah dimengerti. Oleh karena itu, lebih mudah untuk memahami dan menggunakan pengukuran kinerja langsung (direct performance measures) dari pada perpaduan penggunaan pengukuran kinerja tidak langsung (system inderect measures) yang terdiri dari beberapa aktivitas. 5. Keefektifan biaya penilaian (Cost effectiveness) Biaya untuk menginplementasikan pengukuran yang berupa penyediaan data pengukuran seharusnya tidak menjadi penghalang. Jika perlu, untuk mengurangi biaya perolehan data, pengukuran kinerja yang berbiaya tinggi dapat diganti dengan pengukuran kinerja lainnya. Untuk mengukur kinerja, dapat digunakan beberapa ukuran kinerja. Beberapa ukuran kinerja yang meliputi; kuantitas kerja, kualitas kerja, pengetahuan tentang pekerjaan, kemampuan mengemukakan pendapat, pengambilan keputusan, perencanaan kerja dan daerah organisasi kerja. Ukuran prestasi yang lebih disederhana terdapat tiga kreteria untuk mengukur kinerja, pertama; kuantitas kerja, yaitu jumlah yang harus dikerjakan, kedua, kualitas kerja, yaitu mutu yang dihasilkan, dan ketiga, ketepatan waktu, yaitu kesesuaiannya dengan waktu yang telah ditetapkan. Menurut Cascio (2003), kriteria sistem pengukuran kinerja adalah sebagai berikut: 1. Relevan (relevance). Relevan mempunyai makna (1) terdapat kaitan yang erat antara standar untuk pelerjaan tertentu dengan tujuan organisasi, dan (2) terdapat keterkaitan yang jelas antara elemen-elemen kritis suatu pekerjaan yang telah diidentifikasi melalui analisis jabatan dengan dimensi-dimensi yang akan dinilai dalam form penilaian. 2. Sensitivitas (sensitivity). Sensitivitas berarti adanya kemampuan sistem penilaian kinerja dalam membedakan pegawai yang efektif dan pegawai yang tidak efektif. 3. Reliabilitas (reliability). Reliabilitas dalam konteks ini berarti konsistensi penilaian. Dengan kata lain sekalipun instrumen tersebut digunakan oleh dua orang yang berbeda dalam menilai seorang pegawai, hasil penilaiannya akan cenderung sama. 4. Akseptabilitas (acceptability). Akseptabilitas berarti bahwa pengukuran kinerja yang dirancang dapat diterima oleh pihak-pihak yang menggunakannya. 5. Praktis (practicality). Praktis berarti bahwa instrumen penilaian yang disepakati mudah dimenegerti oleh pihak-pihak yang terkait dalam proses penilaian tersebut. Pendapat senada dikemukakan oleh Noe et al (2003), bahwa kriteria sistem pengukuran kinerja yang efektif terdiri dari beberapa aspek sebagai berikut: 1. Mempunyai Keterkaitan yang Strategis (strategic congruence). Suatu pengukuran kinerja dikatakan mempunyai keterkaitan yang strategis jika sistem pengukuran kinerjanya menggambarkan atau berkaitan dengan tujuan-tujuan organisasi. Sebagai contoh, jika organisasi tersebut menekankan pada pentingnya pelayanan pada pelanggan, maka pengukuran kinerja yang digunakan harus mampu menilai seberapa jauh pegawai melakukan pelayanan terhadap pelanggannya. 2. Validitas (validity). Suatu pengukuran kinerja dikatakan valid apabila hanya mengukur dan menilai aspek-aspek yang relevan dengan kinerja yang diharapkan. 3. Reliabilitas (reliability). Reliabilitas berkaitan dengan konsistensi pengukuran kinerja yang digunakan. Salah satu cara untuk menilai reliabilitas suatu pengukuran kinerja adalah dengan membandingkan dua penilai yang menilai kinerja seorang pegawai. Jika nilai dari kedua penilai tersebut relatif sama, maka dapat dikatakan bahwa instrumen tersebut reliabel. 4. Akseptabilitas (acceptability). Akseptabilitas berarti bahwa pengukuran kinerja yang dirancang dapat diterima oleh pihak-pihak yang menggunakannya. Hal ini menjadi suatu perhatian serius mengingat sekalipun suatu pengukuran kinerja valid dan reliabel, akan tetapi cukup banyak menghabiskan waktu si penilai, sehingga si penilai tidak nyaman menggunakannya. 5. Spesifisitas (specificity). Spesifisitas adalah batasan-batasan dimana pengukuran kinerja yang diharapkan disampaikan kepada para pegawai sehingga para pegawai memahami apa yang diharapkan dari mereka dan bagaimana cara untuk mencapai kinerja tersebut. Spesifisitas berkaitan erat dengan tujuan strategis dan tujuan pengembangan manajemen kinerja. Dari pendapat Casio dan Noe et al, ternyata suatu instrumen penilaian kinerja harus didesain sedemikian rupa. Instrumen penilaian kinerja, berdasarkan konsep Casio dan Noe et al, terutama harus berkaitan dengan apa yang dikerjakan oleh pegawai. Mengingat jenis dan fungsi pegawai dalam suatu organisasi tidak sama, maka nampaknya, tidak ada instrumen yang sama untuk menilai seluruh pegawai dengan berbagai pekerjaan yang berbeda. G. Prinsip Pengukuran Kinerja Dalam pengukuran kinerja terdapat beberapa prinsip-prinsip yaitu: 1. Seluruh aktivitas kerja yang signifikan harus diukur. 2. Pekerjaan yang tidak diukur atau dinilai tidak dapat dikelola karena darinya tidak ada informasi yang bersifat obyektif untuk menentukan nilainya. 3. Kerja yang tak diukur selayaknya diminimalisir atau bahkan ditiadakan. 4. Keluaran kinerja yang diharapkan harus ditetapkan untuk seluruh kerja yang diukur. 5. Hasil keluaran menyediakan dasar untuk menetapkan akuntabilitas hasil alih-alih sekedar mengetahui tingkat usaha. 6. Mendefinisikan kinerja dalam artian hasil kerja semacam apa yang diinginkan adalah cara manajer dan pengawas untuk membuat penugasan kerja dari mereka menjadi operasional. 7. Pelaporan kinerja dan analisis variansi harus dilakukan secara kerap. 8. Pelaporan yang kerap memungkinkan adanya tindakan korektif yang segera dan tepat waktu. 9. Tindakan korektif yang tepat waktu begitu dibutuhkan untuk manajemen kendali yang efektif. H. Tolak Ukur Pengukuran Kinerja Dalam Memaksimalkan pengukuran kinerja, pengukuran kinerja harus mempunyai tolak ukur yang dapat dijadikan sebagai persyaratan agar dapat disebut sebagai pengukuran kinerja yang efektif. Horngren Sudem (1993) memberikan uraian pengukuran kinerja yang baik sebagai berikut: 1. Menghubungkan pada tujuan-tujuan organisasi (Related to the goals of the organizations). 2. Menyeimbangkan tujuan jangka panjang dan jangka pendek perusahaan (Balance long-term and short-term concern). 3. Merefleksikan penanganan pedeoman kegiatan dan aktivitas (Reflect the management of key action and activities). 4. Dipengaruhi oleh aksi dari manajer dan karyawan (Be affected by actions of managers and employees). 5. Mudah dipahami oleh para karyawan (Be readily understood be employees). 6. Digunakan untuk menilai dan memberi penghargaan pada manajer dan karyawan (Be used in evaluating and rewarding managers and employees). 7. Menjadi objektivitas yang masuk akal dan mudah diukur (Be reasonably objective and easily measured). 8. Digunakan secara konsisten dan teratur (Be used consistent and regulary). Terdapat tiga macam ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja secara kuantitatif yaitu : 1. Ukuran Kriteria Tunggal (Single Criterium). Yaitu ukuran kinerja yang hanya menggunakan satu ukuran untuk menilai kinerja manajernya. Jika kriteria tunggal digunakan untuk mengukur kinerjanya, orang akan cenderung memusatkan usahanya kepada kriteria tersebut sebagai akibat diabaikannya kriteria yang lain yang kemungkinan sama pentingnya dalam menentukan sukses atau tidaknya perusahaan atau bagiannya. Sebagai contoh manajer produksi diukur kinerjanya dari tercapainya target kuantitas produk yang dihasilkan dalam jangka waktu tertentu kemungkinan akan mengabaikan pertimbangan penting lainnya mengenai mutu, biaya, pemeliharaan equipment dan sumber daya manusia. 2. Ukuran Kriteria Beragam (Multiple Criterium) Yaitu ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran dalam menilai kinerja manajernya. Kriteria ini merupakan cara untuk mengatasi kelemahan kriteria tunggal dalam pengukuran kinerja. Berbagai aspek kinerja manajer dicari ukuran kriterianya sehingga seorang manajer diukur kinerjanya dengan berbagai kriteria. Tujuan penggunaan kriteria ini adalah agar manajer yang diukur kinerjanya mengerahkan usahanya kepada berbagai kinerja. Sebagai Contoh manajer divisi suatu perusahaan diukur kinerjanya dengan berbagai kriteria antara lain profitabilitas, pangsa pasar, produktifitas, pengembangan karyawan, tanggung jawab masyarakat, keseimbangan antara sasaran jangka pendek dan sasaran jangka panjang. Karena dalam ukuran kriteria beragan tidak ditentukan bobot tiap-tiap kinerja untuk menentukan kinerja keseluruhan manajer yang diukur kinerjanya, maka manajer akan cenderung mengarahkan usahanya, perhatian, dan sumber daya perusahaannya kepada kegiatan yang menurut persepsinya menjanjikan perbaikan yang terbesar kinerjanya secara keseluruhan. Tanpa ada penentuan bobot resmi tiap aspek kinerja yang dinilai didalam menilai kinerja menyeluruh manajer, akan mendorong manajer yang diukur kinerjanya menggunakan pertimbangan dan persepsinya masing-masing didalam memberikan bobot terhadap beragan kriteria yang digunakan untuk menilai kinerjanya. 3. Ukuran Kriteria Gabungan (Composite Criterium) Yaitu ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran memperhitungkan bobot masing-masing ukuran dan menghitung rata-ratanya sebagai ukuran menyeluruh kinerja manajernya. Karena disadari bahwa beberapa tujuan lebih panting bagi perusahaan secara keseluruhan dibandingkan dengan tujuan yang lain, beberapa perusahaan memberikan bobot angka tertentu kepada beragan kriteria kinerja untuk mendapatkan ukuran tunggal kinerja manajer, setelah memperhitungkan bobot beragam kriteria kinerja masing-masing. Rangkuman Pengukuran kinerja merupakan komponen penting dalam sistem pengendalian manajemen. Penilaian kinerja suatu organisasi akan menghasilkan data dan informasi untuk membantu mengkoordinasi proses pengambilan keputusan dan memberikan dasar bagi manajemen untuk menentukan bagaimana bagaimana unit usaha dapat memenuhi badan usaha secara keseluruhan. Selain itu, pemotivasian personel dalam mencapai sasaran organisasi dan dalam mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya agar mebuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan oleh organisasi. Standar perilaku dapat berupa kebijakan manajemen atau rencana formal yang dituangkan dalam rencana strategi, program, dan anggaran organisasi. Soal Latihan : 1. Uraikan pendapat saudara tentang pengukuran kinerja? 2. Aspek–aspek apasaja yang bisa mendorong sistem pengukuran kinerja yang efektif 3. Salahsatu kriteria pengukuran kinerja yaitu Sensitivitas (sensitivity). Jelaskan! 4. Perlukan perusahaan mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan sebagai dasar untuk menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan dan pengembangan karyawan. Berikan alasannya ! 5. Sebutkan dan jelaskan kriteria pengukuran kinerja ! 6. Jika pegawai diharapkan dapat memberikan kontribusi yang optimal. Langkah apa yang harus dilakukan oleh pemimpin. 7. Sebutkan manfaat dari pengukuran kinerja ! 8. Apakah prinsip umum dalam pengkuran kinerja ? 9. Faktor situasi (contextual/situational factors) yang bagaimanakah yang dapat mempengaruhi kinerja ? 10. Jelaskan Secara umum tujuan dilakukan pengukuran kinerja ! 11. Bagaimanakah pengukuran kinerja kuantitatif ! 12. Sebutkan faktor- faktor yang mempengaruhi pengkuran kinerja. 13. Secara ideal pengukuran kinerja mempunyai karakteristik diantaranya Keefektipan biaya penilaian (Cost effectiveness). Jelaskan karakteristik tersebut. 14. Pengukuran kinerja dapat diukur melalui kuantitas, kualitas dan ketepatan waktu. Berilah penjelasan tentang hal tersebut. 15. Langkah apa yang dilakukan untuk Memotivasi pegawai dalam melakukan pelayanan sebagai bagian dari mata-rantai pelanggan dan pemasok internal. Referensi Amstrong, Gary & Philip, Kotler. (2002). Dasar-dasar Pemasaran. Jilid 1, (Alih Bahasa Alexander Sindoro dan Benyamin Molan). Jakarta: Prenhalindo. Atkinson, Anthony A., Kaplan, Robert S. Matsumura, Ella Mae, dan Young, S. Mark. 2012. Akuntansi Manajemen, Edisi Kelima, Jilid 2. Jakarta: Indeks. Hongren, T Charles, “Pengantar Akuntansi Manajemen”, Jakarta, Erlangga. 1991. Ittner, Christopher D. Dan David F. Larcker,. “Innovation in Performance Measurement : Trends and Research Implications”. http:\\www.ssrn.com, 27 Desember 2011. Kaplan, Robert S and David P Norton. 1996. Balanced Scorecard :Menerapkan Strategi Menjadi Aksi. Erlangga: Jakarta Mulyadi. 2001. Balanced Scorecard: Alat Manajemen Kontemporer Untuk Pelipatgandaan Kinerja Keuangan Perusahaan. Edisi Pertama. Salemba Empat. Jakarta. Mulyadi dan Setyawan Jhony. 1999. Sistem Perencanaan dan Pengendalian manajemen: Sistem Pelipatgandaan Kinerja Keuangan Perusahaan. Salemba Empat: Jakarta BALANCED SCORECARD A. PENDAHULUAN. Organisasi yang baik wajib memiliki sistem pengukuran kinerja yang komprehensif dan sistematis. Kaplan dan Norton mengembangkan sistem komprehensif yang sangat bermanfaat bagi semua organisasi dalam membantu para pihak manajemen untuk menerjemahkan visi, misi dan strategi perusahannya dalam ukuran – ukuran kinerja yang saling terkait dalam beberapa bidang. Sistem tersebut dinamakan Balanced Scorecard yang mengkombinasikan ukuran finansial kinerja masalalu dengan ukuran pemicu kinerja. Konsep Balanced Scorecard digunakan untuk mengevaluasi kinerja manajemn yang penilainnya ditinjau dari empat perspektif yaitu perspektif keuangan, perspektif kepuasan konsumen, perspektif proses bisnis internal serta perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Pada bab ini menguraikan beberapa konsep dimulai dari pengertian Balanced Scorecard, sejarah perkembangan Balanced Scorecard, empat perspektif, keunggulan penggunaan Balanced Scorecard, faktor-faktor yang memicu kebutuhan perusahaan dalam pengukuran serta kriteria pengguna konsep ini juga pendekatan balanced scorecard dalam pengukuran kinerja. 1. Kompetensi Dasar Kompetensi materi mata ajar ini adalah pembaca diharapkan mampu memahami pengetahuan tentang pengertian Balanced Scorecard, sejarah, prspektif yang ada serta implementasinya sebagai modal pengetahuan awal untuk mengenal Balanced Scorecard secara keseluruhan. 2. Indikator Indikator keberhasilan diukur dengan kriteria penilaian berdasarkan aspek-aspek atau konsep-konsep yang dinilai mulai dari tingka t sempurna sampai tingkat terendah. Indikator penilaian dihitung dengan menggunakan rumus berikut : Arti tingkat penguasaan yang diperoleh : 85% – 100% = Sangat Baik 70% – 84% = Baik 55% – 69% = Cukup 0% – 54% = Kurang 3. Materi Pokok Materi pokok pada bab ini akan mambahas tentang Balanced Scorecard, sejarah Balanced Scorecard, empat perspektif, keunggulan penggunaan Balanced Scorecard, faktor-faktor yang memicu kebutuhan perusahaan dalam pengukuran serta kriteria pengguna konsep ini juga pendekatan balanced scorecard dalam pengukuran kinerja. 4. Tujuan Setelah mempelajari materi ajar ini pembaca diharapkan : a. Mampu memberikan penjelasan tentang Balanced Scorecard; b. Mampu menjelaskan sejarah Balanced Scorecard; c. Mampu menjelaskan karakteristik dan mekanisme Balanced Scorecard; d. Mampu menjelaskan empat perspektif Balanced Scorecard; e. Mampu menjelaskan keunggulan Balanced Scorecard; f. Mampu menjelaskan faktor pemicu pengguna Balanced Scorecard; g. Mampu menjelaskan kriteria pengguna Balanced Scorecard; h. Mampu menjelaskan pendekatan balanced scorecard dalam sistem pengukuran kinerja ; B. Pengertian Balanced Scorecard Balanced Scorecard merupakan konsep manajemen yang diperkenalkan Robert Kaplan tahun 1992, sebagai perkembangan dari konsep pengukuran kinerja (performance measurement) yang mengukur perusahaan. Robert Kaplan mempertajam konsep pengukuran kinerja dengan menentukan suatu pendekatan efektif yang seimbang (balanced) dalam mengukur kinerja strategi perusahaan. Pendekatan tersebut berdasarkan empat perspektif yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis internal dan pembelajaran dan pertumbuhan. Keempat perspektif ini menawarkan suatu keseimbangan antara tujuan jangka pendek dan jangka panjang, hasil yang diinginkan (Outcome) dan pemicu kinerja (performance drivers) dari hasil tersebut, dan tolok ukur yang keras dan lunak serta subjektif. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai Balanced Scorecard, berikut ini dikemukakan pengertian Balanced Scorecard menurut beberapa ahli, di antaranya: Amin Widjaja Tunggal, (2002) “Balanced Scorecard juga menunjukkan bagaimana perusahaan menyempurnakan prestasi keuangannya.” Sedangkan Teuku Mirza, (1997) “Tujuan dan pengukuran dalam Balanced Scorecard bukan hanya penggabungan dari ukuran-ukuran keuangan dan non-keuangan yang ada, melainkan merupakan hasil dari suatu proses atas bawah (top-down) berdasarkan misi dan strategi dari suatu unit usaha, misi dan strategi tersebut harus diterjemahkan dalam tujuan dan pengukuran yang lebih nyata”. Balanced Scorecard merupakan suatu sistem manajemen strategik atau lebih tepat dinamakan “Strategic based responsibility accounting system” yang menjabarkan misi dan strategi suatu organisasi ke dalam tujuan operasional dan tolok ukur kinerja perusahaan tersebut. Konsep balanced scorecard berkembang sejalan dengan perkembangan implementasinya. Balanced scorecard terdiri dari dua kata yaitu balanced dan scorecard. Scorecard artinya kartu skor, maksudnya adalah kartu skor yang akan digunakan untuk merencanakan skor yang diwujudkan di masa yang akan datang. Sedangkan balanced artinya berimbang, maksudnya adalah untuk mengukur kinerja seseorang atau organisasi diukur secara berimbang dari dua perspektif yaitu keuangan dan non keuangan, jangka pendek dan jangka panjang, intern dan ekstern (Mulyadi, 2005). Pada awalnya, balanced scorecard ditujukan untuk memperbaiki sistem pengukuran kinerja eksekutif. Sebelum tahun 1990-an eksekutif hanya diukur kinerjanya dari aspek keuangan, akibatnya fokus perhatian dan usaha eksekutif lebih dicurahkan untuk mewujudkan kinerja keuangan dan kecendrungan mengabaikan kinerja non keuangan. Pada tahun 1990, Nolan Norton Institute, bagian riset kantor akuntan publik KPMG, mensponsori studi tentang “Mengukur Kinerja Organisasi Masa Depan”. Studi ini didorong oleh kesadaran bahwa pada waktu itu ukuran kinerja keuangan yang digunakan oleh semua perusahaan untuk mengukur kinerja eksekutif tidak lagi memadai. Balanced scorecard digunakan untuk menyeimbangkan usaha dan perhatian eksekutif ke kinerja keuangan dan nonkeuangan, serta kinerja jangka pendek dan kinerja jangka panjang. Hasil studi tersebut menyimpulkan bahwa untuk mengukur kinerja eksekutif masa depan, diperlukan ukuran yang komprehensif yang mencakup empat perspektif yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan. Ukuran ini disebut dengan balanced scorecard. Balanced scorecard yang baik harus memenuhi beberapa kriteria antara lain sebagai berikut : 1. Dapat mendefinisikan tujuan strategi jangka panjang dari masing – masing perspektif (outcomes) dan mekanisme untuk mencapai tujuan tersebut (performance driver). 2. Setiap ukuran kinerja harus merupakan elemen dalam suatu hubungan sebab akibat (cause and effect relationship). 3. Terkait dengan keuangan, artinya strategi perbaikan seperti peningkatan kualitas, pemenuhan kepuasan pelanggan, atau inovasi yang dilakukan harus berdampak pada peningkatan pendapatan perusahaan. Langkah-langkah balanced scorecard meliputi empat proses manajemen baru. Pendekatan ini mengkombinasikan antara tujuan strategi jangka panjang dengan peristiwa jangka pendek. Keempat proses tersebut menurut (Kaplan dan Norton, 1996) antara lain : 1. Menterjemahkan visi, misi dan strategi perusahaan. Untuk menentukan ukuran kinerja, visi organisasi perlu dijabarkan dalam tujuan dan sasaran. Visi adalah gambaran kondisi yang akan diwujudkan oleh perusahaan di masa mendatang. Untuk mewujudkan kondisi yang digambarkan dalam visi, perusahaan perlu merumuskan strategi. Tujuan ini menjadi salah satu landasan bagi perumusan strategi untuk mewujudkannya. Dalam proses perencanaan strategik, tujuan ini kemudian dijabarkan ke dalam sasaran strategik dengan ukuran pencapaiannya. 2. Mengkomunisasikan dan mengaitkan berbagai tujuan dan ukuran strategis balanced scorecard. Dapat dilakukan dengan cara memperlihatkan kepada tiap karyawan apa yang dilakukan perusahaan untuk mencapai apa yang menjadi keinginan para pemegang saham dan konsumen. Hal ini bertujuan untuk mencapai kinerja karyawan yang baik. 3. Merencanakan, menetapkan sasaran, menyelaraskan berbagai inisiatif rencana bisnis. Memungkinkan organisasi mengintergrasikan antara rencana bisnis dan rencana keuangan mereka. Balanced scorecard sebagai dasar untuk mengalokasikan sumber daya dan mengatur mana yang lebih penting untuk diprioritaskan, akan menggerakan kearah tujuan jangka panjang perusahaan secara menyeluruh. 4. Meningkatkan Umpan Balik dan pembelajaran strategis Proses keempat ini akan memberikan strategis learning kepada perusahaan. Dengan balanced scorecard sebagai pusat sistem perusahaan, maka perusahaan melakukan monitoring terhadap apa yang telah dihasilkan perusahaan dalam jangka pendek. C. Sejarah Singkat Balanced Scorecard Pada tahun 1990, Nolan Norton Institute, bagian riset kantor akuntan publik KPMG di U.S.A yang dipimpin oleh David P. Norton, menyeponsori studi tentang “Pengukuran Kinerja dalam Organisasi Masa Depan.” Studi ini didorong oleh kesadaran bahwa pada waktu itu ukuran kinerja keuangan yang digunakan oleh semua perusahaan untuk mengukur kinerja eksekutif tidak lagi memadai. Balanced Scorecard digunakan untuk menyeimbangkan usaha dan perhatian eksekutif ke kinerja keuangan dan nonkeuangan, serta kinerja jangka pendek dan kinerja jangka panjang. Hasil studi tersebut diterbitkan dalam sebuah artikel berjudul “Balanced Scorecard-Measures That Drive Performance” dalam Harvard Business Review (januari-pebruari 1992). Hasil studi tersebut menyimpulkan bahwa untuk mengukur kinerja eksekutif di masa depan, diperlukan ukuran komprehensif yang mencakup empat perspektif : keuangan, pelanggan, proses bisnis intern, dan pembelajaran dan pertumbuhan, ukuran ini disebut Balanced Scorecard, yang cukup komprehensif untuk memotivasi eksekutif dalam mewujudkan kinerja dalam keempat perspektif tersebut, agar keberhasilan keuangan yang diwujudkan perusahaan bersifat sustainable (berjangka panjang). Dalam perkembangannya, Balanced Scorecard kemudian dikembangkan untuk menghubungkan tolak ukur bisnis dengan strategi perusahaan. Norton dan Kaplan menjelaskan pentingnya memilih tolak ukur berdasarkan keberhasilan strategis dalam artikel kedua Harvard Business Review, “Putting the Balanced Scorecard to Work” (September-oktober 1993). Dalam artikel ini, Kaplan dan Norton menunjukkan bagaimana beberapa perusahaan menggunakan Balanced Scorecard. Pengukuran yang efektif harus merupakan bagian yang integral dari proses manajemen. Balanced Scorecard merupakan sistem manajemen yang dapat memotivasi berbagai temuan perbaikan pada area-area seperti: produk, proses, pelanggan dan pengembangan produk. Beberapa perusahaan seperti: Rockwater, Aple Computer dan Advanced Micro Devices mengilustrasikan bagaimana Scorecard mengkombinasikan pengukuran dan manajemen di beberapa perusahaan yang berbeda. Dari pengalaman perusahaan-perusahaan tersebut Kaplan dan Norton akhirnya menyimpulkan bahwa Balanced Scorecard akan paling sukses ketika digunakan untuk mendorong proses perubahan. Mulai pertengahan tahun 1993, perusahaan konsultan yang dipimpin oleh David P. Norton, Renaissance Solution, Inc., menerapkan Balanced Scorecard sebagai sarana untuk menerjemahkan dan mengimplemen-tasikan strategi di berbagai perusahaan kliennya. Sejak saat itu, Balanced Scorecard tidak saja digunakan sebagai sistem pengukuran kinerja namun berkembang lebih jauh lanjut sebagai sistem manajemen strategis. Keberhasilan pemanfaatan Balanced Scorecard tersebut dilaporkan dalam sebuah artikel di Harvard Business Review (januari-februari 1996) dengan judul; “Using Balanced Scorecard as a Strategic Management System.” Artikel ini menjelaskan bagaimana suatu perusahaan harus berkompetisi dalam era informasi sekarang ini dengan meningkatkan kemampuannya dalam mengeksploitasi itangible assets, lebih baik dari sekedar mengelola tangible assets-nya. Terakhir dalam buku yang berjudul “The Balanced Scorecard Translating Strategy Into Action (Harvard Business Review 1996)” secara lengkap dan komprehensif Kaplan dan Norton menjelaskan laporan hasil observasi mereka dengan harapan akan semakin banyak organisasi yang mengaplikasikan, memperkaya dan mengembangkan Balanced Scorecard atas konsep yang ada kini. D. Karakteristik dan Mekanisme Balanced Scorecard. Penerapan sistem pengukuran kinerja dalam balanced scorecard akan memiliki mekanisme menurut Bambang Sudibyo (1997) sebagai berikut : a. “Pendekatan ini memiliki instrumen kinerja yang multidimensional. Balanced Scorecard mengukur kinerja dari dimensi finansial dan non finansial dari organisasi. Dalam persaingan yang semakin terbuka, manajemen harus mengukur kinerja secara lebih komprehensif dari berbagai perspektif seperti perspektif konsumen, karyawan, dan sebagainya. b. Mengakomodasi berbagai kelompok stakeholder yang terkait dengan perusahaan. Dalam hal ini, Balanced Scorecard mencoba mengakomodasi seoptimal mungkin berbagai kelompok kepentingan yang terkait dengan organisasi. Seluruh indikator kinerja yang penting menurut perspektif berbagai kelompok stakeholder (pemegang saham, kreditor, pelanggan, rekan kerja, karyawan, pemerintah, dan masyarakat) secara teoritis dapat dimasukkan ke dalam Balanced Scorecard. c. Berorientasi pada implementasi dan strategi. Ukuran-ukuran yang dipakai dalam Balanced Scorecard diidentifikasi dan diseleksi dengan seksama dan rasional dari visi, misi, dan strategi perusahaan. Balanced Scorecard mendorong manajemen untuk menjabarkan visi, misi, dan strategi ke dalam tujuan-tujuan strategis, spesifik dan nyata. Kemudian tujuan strategis tersebut ditentukan ukuran keberhasilannya sebagai suatu lag indicators dari kinerja perusahaan untuk tiap lag indicator itu selanjutnya diidentifikasikan pemicu kinerja yaitu faktor sukses kunci yang sangat menentukan keberhasilan strategi tersebut. d. Menganut konsep Management by Objective, dimana manajemen pada tingkat organisasi harus memiliki tujuan yang jelas, yang dijabarkan ke dalam sasaran yang lebih nyata dan mudah dipahami. e. Pada tataran operasional, pendekatan ini berfungsi menterjemahkan visi, misi, dan strategi yang besifat abstrak dan global ke dalam dunia nyata secara lebih spesifik, sehingga mudah dalam operasionalisasinya melalui sebuah proses yang disebut Strategic Learning. f. Seimbang dalam konsep balanced scorecard, manajemen dituntut untuk dapat melihat berbagai aspek yang melingkupi perusahaan secara seimbang. g. Balanced Scorecard disusun berdasarkan hubungan sebab akibat yang jelas dan logis antara ukuran-ukuran yang dipakai. h. Mencakup lagging indicator dan leading indicator adalah indikator tingkat keberhasilan pencapaian sasaran yang perspektif waktunya mengarah pada masa lalu sedangkan leading indicator merupakan indikator tingkat keberhasilan yang mempengaruhi faktor-faktor kunci penentu kinerja masa depan, oleh karena itu perspektif waktunya menuju ke arah masa yang akan datang. i. Relevansinya dalam sistem manajemen di era reformasi. Pada perkembangannya, balanced scorecard bukan hanya sekedar instrumen pengukuran kinerja. Pendekatan ini digunakan sebagai suatu sistem manajemen, sebagai kerangka sentral yang terfokus pada misi dan strategi dalam melaksanakan proses manajemen, seperti perencanaan penganggaran, alokasi sumberdaya manusia, pemberian kompensasi, pemberdayaan karyawan, pengadaan umpan balik, dan sebagainya. Balanced Scorecard juga merupakan bagian dari pendekatan-pendekatan baru dalam manajemen era informasi. Diakui perspektif pelanggan sebagai perspektif penting dalam Balanced Scorecard, mengasumsikan bahwa perusahaan perlu mengadopsi customer orientation. j. Perspektif internal bisnis dalam balanced scorecard yang efektif dan menginspirasi dan memacu penerapan business engineering, TQM, outsourching, JIT inventory system, ABC dan ABM. Sedangkan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan selanjutnya dapat mendorong penerapan falt-non bureaucratic intelligent, enterprenaureal organization, employee empowerment, down sizing, cross training, dan participative work team. k. Mekanisme top-down dan bottom-up. Disini balanced scorecard menjadi instrumen yang digunakan untuk megkomunikasikan, mensosialisasikan dan mengoperasionalisasikan misi dan strategi yang diformulasikan oleh manajemen puncak secara abstrak, umum, dan berdimensi waktu yang panjang. Karyawan yang terlibat dalam aktivitas keseharian diharapkan bisa memberikan umpan balik kepada manajemen puncak. Apakah balanced scorecard cukup realistis, betul-betul mampu mengimplementasikan misi dan strategi secara efektif memberi target-target yang sesuai dan merupakan instrumen pengukuran kinerja yang adil, akurat dan dapat diandalkan. l. Berbasis pada strategic Business Unit/SBU. Kaplan dan Norton mengungkapkan bahwa Balanced Scorecard paling sesuai untuk diterapkan secara komprehensif pada tingkat SBU. Hal ini sangat beralasan karena Balanced Scorecard terdiri dari ukuran-ukuran kinerja yang satu sama yang lain berhubungan secara logis melalui hubungan sebab akibat yang jelas sehingga membentuk satu kesatuan pemikiran yang komprehensif mengenai operasionalisasi misi dan strategi SBU.” Dalam mengukur kinerja perusahaan, Balanced Scorecard terlebih dahulu menerjemahkan visi, misi, dan strategi ke dalam seperangkat ukuran kinerja yang tersusun dalam 4 perspektif yaitu finansial, pelanggan, proses bisnis internal, dan pertumbuhan dan pembelajaran. Ukuran yang ditetapkan harus merupakan unsur dalam sebuah hubungan sebab akibat yang mengkomunikasikan arti strategi unit bisnis kepada berbagai satuan usaha dalam perusahaan, terutama para pekerja, manajer, dan dewan direksi. Tujuan dari proses komunikasi adalah untuk menyelaraskan strategi dengan semua pekerja di dalam perusahaan, maupun orang-orang kepada siapa unit bisnis itu bertanggung jawab. Pengetahuan dan keselarasan di antara berbagai konstituen perusahaan ini akan memfasilitasi penetapan tujuan lokal, umpan balik, dan akuntabilitas terhadap jalur strategis SBU. E. Empat Perspektif Balanced Scorecard Balanced scorecard adalah konsep yang mengukur kinerja suatu organisasi dari empat perspektif, yaitu perspektif finansial, perspektif customer, perspektif proses bisnis internal, perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Konsep balanced scorecard ini pada dasarnya merupakan penerjemahaan strategi dan tujuan yang ingin dicapai oleh suatu perusahaan dalam jangka panjang, yang kemudian diukur dan dimonitoring secara berkelanjutan . Menurut Kaplan dan Norton (1996), balanced scorecard memiliki empat perspektif, antara lain : 1. Perspektif Keuangan (Financial Perspective) Balanced scorecard menggunakan tolok ukur kinerja keuangan, seperti laba bersih dan ROI (Return On Investment), karena tolok ukur tersebut secara umum digunakan dalam organisasi yang mencari keuntungan atau provit. Tolok ukur keuangan memberikan bahasa umum untuk menganalisis perusahaan. Orang-orang yang menyediakan dana untuk perusahaan, seperti lembaga keuangan dan pemegang saham, sangat mengandalkan tolok ukur kinerja keuangan dalam memutuskan hal yang berhubungan dengan dana. Tolok ukur keuangan yang di design dengan baik dapat memberikan gambaran yang akurat untuk keberhasilan suatu organisasi. Tolok ukur keuangan adalah penting, akan tetapi tidak cukup untuk mengarahkan kinerja dalam menciptakan nilai (value). Tolok ukur non keuangan juga tidak memadai untuk menyatakan angka paling bawah (bottom line). balanced scorecard mencari suatu keseimbangan dan tolok ukur kinerja yang multiple-baik keuangan maupun non keuangan untuk mengarahkan kinerja organisasional terhadap keberhasilan. 2. Perspektif Pelanggan (Customer Perspective) Perspektif Pelanggan berfokus pada bagaimana organsasi memperhatikan bagaimana pelanggannya agar berhasil. Mengetahui palanggan dan harapan mereka tidaklah cukup, suatu organisasi juga harus memberikan insentif kepada manajer dan karyawan yang dapat memenuhi harapan pelanggan. Bill Mariot mengatakan “Take care of you employee and they take care of your customer”. Perhatikan karyawan anda dan mereka akan memperhatikan pelanggan anda. Perusahaan antara lain menggunakan tolok ukur kinerja berikut, pada waktu mempertimbangkan perspektif pelanggan yaitu : a. Kepuasan pelanggan (customer satisfaction) b. Retensi pelanggan (customer retention) c. Pangsa pasar (market share) d. Pelanggan yang profitable 3. Perspektif Proses Bisnis Internal (Internal Business Process Perspective) Terdapat hubungan sebab akibat antara perspektif pembelajaran dan pertumbuhan dengan perspektif bisnis internal dan proses produksi. Karyawan yang melakukan pekerjaan merupakan sumber ide baru yang terbaik untuk proses usaha yang lebih baik. Hubungan pemasok adalah kritikal untuk keberhasilan, khususnya dalam usaha eceran dan perakitan manufacturing. Perusahaan tergantung pemasok mengirimkan barang dan jasa tepat pada waktunya, dengan harga yang rendah dan dengan mutu yang tinggi. Perusahaan dapat berhenti berproduksi apabila terjadi problema dengan pemasok. Pelanggan menilai barang dan jasa yang diterima dapat diandalkan dan tepat pada waktunya. Pemasok dapat memuaskan pelanggan apabila mereka memegang jumlah persediaan yang banyak untuk meyakinkan pelanggan bahwa barang –barang yang diminati tersedia ditangan. Akan tetapi biaya penanganan dan penyimpanan persediaan menjadi tinggi, dan kemungkinan mengalami keusangan persediaan. Untuk menghindari persediaan yang berlebihan, alternatif yang mungkin adalah membuat pemasok mengurangi throughput time. Throughput time adalah total waktu dari waktu pesanan diterima oleh perusahaan sampai dengan pelanggan menerima produk. Memperpendek throughput time dapat berguna apabila pelanggan menginginkan barang dan jasa segera mungkin. 4. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan (Learn and Growth / Infrastucture Perspective) Untuk tujuan insentif, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan berfokus pada kemampuan manusia. Manajer bertanggung jawab untuk mengembangkan kemampuan karyawan. Tolok ukur konci untuk menilai kinerja manajer adalah kepuasan karyawan, retensi karyawan, dan produktivitas karyawan. Kepuasan karyawan mengakui bahwa moral karyawan adalah penting untuk memperbaiki produktivitas, mutu, kepuasan pelanggan, dan ketanggapan terhadap situasi. Manajer dapat mengukur kepuasan dengan mengirim survei, mewawancara karyawan, mengamati karyawan pada saat bekerja. Kepuasan karyawan mengakui bahwa karyawan yang mengembangkan modal intelektual khusus organisasi adalah merupakan aktiva non keuangan yang bernilai bagi perusahaan. Lagi pula adalah sangat mahal menemukan dan menerima orang yang berbakat untuk menggantikan orang yang meninggalkan perusahaan. Perputaran karyawan diukur dengan persentase orang yang keluar setiap tahun, hal ini merupakan tolok ukur umum untuk retensi. Produktivitas karyawan mengakui pentingnya pengeluaran setiap karyawan, pengeluaran dapat diukur dalam arti tolok ukur fisik seperti halaman yang diproduksi, atau dalam tolok ukur keuangan seperti pendapatan setiap karyawan, laba setiap karyawan. Suatu sitem insentif yang baik akan mendorong manajer meningkatkan kepuasan karyawan yang tinggi, perputaran karyawan yang rendah dan produktivitas karyawan yang tinggi. F. Keunggulan Balanced Scorecard Keunggulan Balanced Scorecard menurut Mulyadi dalam bukunya yang berjudul Balanced Scorecard: Alat Manajemen Kontemporer untuk Pelipatgandaan Kinerja Keuangan Perusahaan (2001) adalah : “Memiliki karakteristik yang 1. komprehensif, 2. koheren, 3. seimbang, dan 4. terukur.” Berikut penjelasan dari karakteristik keunggulan Balanced Scorecard: 1. Komprehensif Balanced Scorecard memperluas perspektif yang dicakup dalam perencanaan stratejik, dari yang sebelumnya hanya terbatas pada perspektif keuangan meluas pada perspektif lainnya: pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Perluasan perspektif tersebut menghasilkan manfaat sebagai berikut: a. Menjanjikan kinerja keuangan yang bersifat ganda dan berjangka panjang. b. Meningkatkan kemampuan perusahaan untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompleks. 2. Koheren Balanced Scorecard mewajibkan personel untuk membangun hubungan sebab akibat diantara berbagai sasaran stratejik yang dihasilkan dalam perencanaan stratejik. Setiap sasaran stratejik yang ditetapkan dalam perspektif non keuangan harus mempunyai hubungan kausal dengan kinerja keuangan, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Kekoherenan sasaran stratejik yang dihasilkan dalam sistem perencanaan stratejik memotivasi personel untuk bertanggung jawab dalam mencari inisiatif guna menghasilkan kinerja keuangan. 3. Seimbang Sasaran stratejik harus diarahkan pada keempat perspektif secara seimbang antara fokus ke internal dan ke luar perusahaan. Customer dan pembelajaran dan pertumbuhan merupakan perspektif yang berfokus pada orang. Keuangan dan proses bisnis internal merupakan perspektif yang berfokus pada proses-proses untuk menghasilkan produk dan jasa bagi customer dan proses untuk menghasilkan financial return bagi investor. Perspektif proses bisnis internal dan pembelajaran dan pertumbuhan berorientasi ke dalam perusahaan, sedangkan perspektif keuangan dan customer berorientasi ke luar perusahaan. 4. Terukur Keterukuran sasaran stratejik di perspektif customer, proses bisnis internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan, merupakan sasaran stratejik yang tidak mudah diukur, namun dalam pendekatan balanced scorecard sasaran ketiga perspektif non keuangan tersebut ditemukan ukurannya agar dapat dikelola sehingga dapat diwujudkan. Dengan demikian keterukuran sasaran stratejik tersebut dapat menjanjikan perwujudan berbagai sasaran stratejik non keuangan, sehingga keuangan dapat berlipat ganda dan berjangka panjang. G. Faktor-Faktor yang Memicu Kebutuhan Perusahaan untuk Menggunakan Balanced Scorecard Balanced Scorecard merupakan alat manajemen kontemporer (contemporary management tool). Menurut Mulyadi (2001) kebutuhan perusahaan untuk menginplementasikan Balanced Scorecard dipacu oleh faktor- faktor, 1. Lingkungan bisnis yang dimasuki oleh perusahaan sangat kompetitif dan turbulen dan 2. Sistem manajemen yang digunakan oleh perusahaan tidak cocok dengan tuntutan lingkungan bisnis yang dimasuki oleh perusahaan. Berikut penjelasan dari faktor-faktor kebutuhan perusahaan untuk menginplementasikan Balanced Scorecard: 1. Lingkungan bisnis yang dimasuki oleh perusahaan sangat kompetitif dan turbulen. Lingkungan bisnis seperti ini menuntut kemampuan perusahaan untuk: a. Membangun keunggulan kompetitif melalui distinctive capability. b. Membangun secara berkelanjutan memutakhirkan peta perjalanan untuk mewujudkan masa depan perusahaan. c. Menempuh langkah-langkah stratejik dalam membangun masa depan perusahaan. d. Mengerahkan dan memusatkan kemampuan serta komitmen seluruh personel dalam membangun masa depan perusahaan. 2. Sistem manajemen yang digunakan oleh perusahaan tidak cocok dengan tuntutan lingkungan bisnis yang dimasuki oleh perusahaan. Sistem manajemen yang tidak cocok dengan tuntutan lingkungan bisnis sebagaimana yang digambarkan di atas memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Sistem manajemen yang digunakan hanya menggunakan anggaran tahunan sebagai alat perencanaan masa depan perusahaan. b. Sistem manajemen yang digunakan tidak mengikutsertakan secara optimum seluruh personel dalam membangun masa depan perusahaan. c. Tidak terdapat kekoherenan antara rencana jangka panjang (atau dikenal dengan istilah corporate plan) dengan rencana jangka pendek dan implementasinya. H. Kriteria Pengguna Konsep Balanced Scorecard Kriteria pengguna konsep Balanced Scorecard sebagai pengukuran kinerja pada perusahaan menurut Kaplan dan Norton yang dialih bahasakan oleh Pasla (1996), adalah sebagai berikut: 1. Harus mendapat dukungan dan komitmen dari manajer puncak/manajer senior mengenai implementasi Balanced Scorecard. 2. Perusahaan tersebut harus memiliki visi, misi, dan strategi yang telah baku. 3. Perusahaan tersebut merupakan perusahaan menengah ke atas dengan tingkat laba diatas 1 milyar. 4. Melakukan sosialisasi secara menyeluruh kepada seluruh karyawan sehingga karyawan akan memahami maksud dari pengguna konsep Balanced Scorecard. 5. Memiliki key performace indicator (KPI), karena dengan KPI maka visi, misi, dan strategi karyawan yang diterjemahkan ke dalam tujuan dan ukuran operasional (sasaran strategis) akan lebih mudah untuk menilai berhasil atau tidaknya strategi tersebut dijalankan oleh perusahaan. 6. Telah menetapkan ukuran strategis (tolak ukur) dari 4 perspektif Balanced Scorecard secara konsisten dan saling mendukung. 7. Memiliki jaringan istem informasi yang terpadu dan mudah diakses oleh (Local Area Network, Email). 8. Melakukan percobaan pelaksanaan implementasi konsep Balanced Scorecard para perusahaan anak/kantor cabang sebagai perbandingan. Beberapa uraian diatas maka kriteria pengguna Balanced Scorecard sebagai pengukuran kinerja pada perusahaan harus diterapkan guna menjadikan perusahaan yang maju dan berkualitas. I. Pendekatan Balanced Scorecard dalam Sistem Pengukuran Kinerja Balanced scorecard menerjemahkan visi dan misi serta strategi perusahaan ke dalam seperangkat ukuran kinerja yang dimengerti (indikator), sehingga strategi dapat dipahami, dikomunikasikan dan diukur, dengan demikian berfungsi untuk semua kegiatan. Selain itu, indikator memungkinkan pemantauan tingkat akurasi pelaksanaan strategi (Kaplan dan Norton, 1996). balanced scorecard telah banyak diterapkan sebagai alat ukur kinerja baik dalam bisnis manufaktur dan jasa. Penerapannya adalah dengan berfokus pada keempat perspektif Balanced scorecard. Pengukuran kinerja dengan menggunakan balanced scorecard lebih sering dilakukan dalam konteks penerapannya pada perusahaan atau organisasi yang bertujuan mencari laba (Profit-seeking Organisations). Jarang sekali ada pembahasan mengenai penerapan balanced scorecard pada organisasi nirlaba (not-for profit organisations) atau organisasi dengan karakteristik khusus seperti koperasi yang ditandai relational contracting, yakni saat owner dan consumer adalah orang yang sama, serta dimana mutual benefit anggota menjadi prioritasnya yang utama (Merchant, 1998). Pada organisasi-organisasi semacam ini keberhasilan haruslah lebih didasarkan pada kesuksesan pencapaian misi secara luas daripada sekedar perolehan keuntungan. Pengukuran aspek keuangan ternyata tidak mampu menangkap aktivitas-aktivitas yang menciptakan nilai (value-creating activities) dari aktiva-aktiva tidak berwujud seperti : 1. Keterampilan, kompetensi, dan motivasi para pegawai 2. Database dan teknologi informasi 3. Proses operasi yang efisien dan responsif 4. Inovasi dalam produk dan jasa 5. Hubungan dan kesetiaan pelanggan, serta 6. Adanya dukungan politis, peraturan perundang-undangan, dan dari masyarakat (Kaplan dan Norton, 2000). Penerapan Balanced Scorecard itu sendiri dimulai dari akarnya yaitu pembelajaran dan pertumbuhan dalam organisasi, yang akan memberikan kontribusi pada proses internal bisnis. Pengukuran kinerja tradisional tidak lebih sekedar alat untuk mengontrol perilaku individu agar sesuai dengan standar yang ditetapkan. Namun pada perkembangannya, pengukuran kinerja tidak menempatkan pengendalian sebagai pusatnya. Pendekatan Balanced Scorecard menunjukkan bahwa pengukuran kinerja lebih menitikberatkan strategi sebagai pusatnya, bukan pengendalian. Menurut Kaplan, strategi merupakan seperangkat hipotesis tentang hubungan sebab akibat, sehingga balanced scorecard tidak harus memuat tujuan dan pengukuran yang saling terkait, yang menunjukkan hubungan sebab akibat yang mendasari strategi dan bauran antara ukuran kinerja dengan pemicunya. Dalam proses peningkatan kinerja, berangkat dari peningkatan human capital kemudian mengubahnya menjadi firm equity untuk menghasilkan value terbaik bagi konsumen. Dapat dikatakan kinerja bergerak dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan ke perspektif pelanggan. Proses peningkatan kinerja kemudian bergerak dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan keperspektif proses bisnis internal. Human capital menghasilkan dua hal penting yaitu: membangun distinctive capabilities dan membangun jejaring dan hubungan berkualitas dengan pemasok dan customers. Kedua hal tersebut juga menghasilkan dua manfaat yaitu: meningkatkan kepuasan konsumen dan meningkatkan cost effectiveness.. Proses ini akhirnya harus dapat dicerminkan dari the bottom line kinerja keuangan yang dapat dihasilkan oleh perusahaan. Dengan demikian proses peningkatan kinerja bergerak dari perspektif customer ke perspektif keuangan dengan peningkatan pendapatan sebagai akibat dari perubahan human capital untuk membangun market franchises dan dari pemanfaatan human capital dalam membangun distinctive capabilities dan jejaring serta hubungan kualitas dengan pemasok dan customer. Membuat Balanced Scorecard hendaknya dilaksanakan dengan proses yang sistematis agar tercipta suatu kejelasan bagaimana misi dan strategi perusahaan diterjemahkan ke dalam tujuan dan ukuran operasional. Secara umum ada empat langkah dalam menyusun suatu Balanced Scorecard demi mendorong munculnya komitmen dari manajemen puncak untuk membantu para manajer mencapai tujuan program mereka. Keempat langkah tersebut menurut Husein Umar (2002) adalah: 1. Menentukan desain ukuran. Menentukan desain ukuran mencakup dua tugas pokok, yaitu: a) Memilih unit organisasi yang sesuai. Dengan berkonsultasi dengan tim eksekutif senior, system analyst and designer (SAD) menentukan unit organisasi yang akan melaksanakan siatem ini. b) Mengidentifikasikan keterkaitan SBU (Strategic Unit Business) dan korporasi. Setelah SBU ditentukan dan dipilih, SAD harus mempelajari keterkaitan antar SBU dan divisi-divisi perusahaan serta korporasi. 2. Membangun konsensus di seputar tujuan strategis Langkah kedua ini mengandung tiga tugas pokok, adalah sebagai berikut: a) Melaksanakan wawancara putaran pertama. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan sistem Balanced Scorecard kepada para manajer senior, untuk memberikan tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang konsep tersebut, dan untuk mendapatkan masukan awal tentang strategi perusahaan, dan bagaimana menerjemahkan hal ini ke dalam tujuan dan ukuran scorecard. Selain itu tujuannya adalah memulai proses agar manajemen puncak berpikir mengenai penerjemahan strategi dan tujuan perusahaan ke dalam ukuran profesional yang nyata. b) Sesi sintetis. Setiap perspektif dan tujuan di dalam perspektif akan disertai dengan ungkapan anonim para eksekutif yang menjelaskan dan mendukung tujuan tersebut, dan mengidentifikasi permasalahan yang harus dipecahkan tim eksekutif. c) Lokakarya eksekutif putaran pertama. Pada tahap ini akan diidentifikasikan tujuan-tujuan strategis setiap perspektif, pernyataan deskriptif yang terperinci untuk setiap tujuan, dan sebuah daftar ukuran potensial untuk setiap tujuan. 3. Memilih dan merancang ukuran Tahapan ini memiliki dua tugas pokok yaitu: a) Pertemuan subgrup. SAD bekerjasama dengan setiap subgrup yang akan menghasilkan: Untuk setiap tujuan, mengidentifikasi sebuah ukuran atau berbagai ukuran yang paling baik untuk menangkap dan mengkomunikasikan maksud dari tujuan yang telah ditetapkan. Untuk setiap ukuran yang diusulkan, mengidentifikasi sumber informasi yang semestinya dan tindakan yang mungkin dibutuhkan untuk membuat informasi tersebut dapat diakses. Untuk setiap perspektif, mengidentifikasi keterkaitan penting yang ada di antara ukuran di dalam sebuah perspektif, maupun antar perspektif. b) Memilih dan merancang ukuran. Tujuan utama memilih ukuran bagi sebuah balanced scorecard adalah untuk mengidentifikasi ukuran yang paling baik dalam mengkomunikasikan maksud sebuah strategi. Fokus utamanya adalah untuk menghasilkan sebuah brosur yang mengkomunikasikan maksud dan isi scorecard kepada semua pekerja dari unit bisnis yang bersangkutan. 4. Membuat dan rencana pelaksanaan Tahapan ini memiliki tiga tugas utama: a) Mengembangkan rencana pelaksanaan. Rencana ini harus menyatakan bagaimana ukuran yang ada terkait denga database dan sitem informasi bagaimana yang mengkomunikasikan sistem balanced scorecard ke seluruh perusahaan, dan mendorong serta memfasilitasi pengembangan metrik tingkat dua untuk unit yang terdisentralisasi. b) Lokakarya eksekutif putaran ketiga. Tujuannya untuk mencapai konsensus terakhir mengenai visi, tujuan, dan ukuran yang dikembangkan dalam kedua lokakarya yang pertama, dan untuk memberikan persetujuan terhadap target yang diusulkan tim pelaksana. Proses ini berakhir dengan usaha menyelaraskan berbagai inisiatif perubahan uit bisnis dengan tujuan,ukuran, dan target scorecard. c) Menyelesaikan rencana pelaksanaan. Agar menghasilkan nilai, sebuah balanced scorecard seharusnya diintegrasikan ke dalam sistem manajemen perusahaan. Pada akhirnya, para manajer senior dan menengah unit bisnis seharusnya sudah mendapatkan kejelasan dan mencapai konsensus tentang penerjemahan strategi ke dalam tujuan dan ukuran tertentu untuk keempat perspektif, menyepakati rencana peluncuran untuk melaksanakan scorecard dan pelaporan data scorecard, dan memiliki pemahaman yang luas tentang proses-proses manajemen yang akan berubah sebagai akibat dari adanya ukuran pada jantung sistem manajemen perusahaan. Rangkuman Organisasi sangat membutuhkan untuk menerapkan balanced scorecard sebagai satu aset ukuran kinerja yang multi dimensi. Hal ini mencerminkan kebutuhan untuk mengukur semua bidang kinerja yang penting bagi keberhasilan organisasi. Pendekatan yang paling luas dikenal sebagai pengukuran kinerja. Balanced scorecard sekarang banyak digunakan sebagai pengembangan strategi dan sebagai alat eksekusi yang dikembangkan dalam lingkungan operasional. Balanced scorecard adalah konsep yang mengukur kinerja suatu organisasi dari empat perspektif, yaitu perspektif finansial, perspektif customer, perspektif proses bisnis internal, perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Konsep balanced scorecard ini pada dasarnya merupakan penerjemahaan strategi dan tujuan yang ingin dicapai oleh suatu perusahaan dalam jangka panjang, yang kemudian diukur dan dimonitoring secara berkelanjutan. Pendekatan ini mengkombinasikan antara tujuan strategi jangka panjang dengan peristiwa jangka pendek. Langkah-langkah dalam pengukuran ini diawali dengan menterjemahkan visi, misi dan strategi perusahaan. Langkah selanjutnya adalah mengkomunisasikan dan mengaitkan berbagai tujuan dan ukuran strategis balanced scorecard. Kemudian merencanakan, menetapkan sasaran, menyelaraskan berbagai inisiatif rencana bisnis. Terakhir, Meningkatkan Umpan Balik dan pembelajaran strategis. Dengan Balanced scorecard para manajer perusahaan akan mampu mengukur bagaimana unit bisnis mereka melakukan penciptaan nilai saat ini dengan tetap mempertimbangkan kepentingan-kepentingan masa yang akan datang. Balanced scorecard memungkinkan untuk mengukur apa yang telah diinvestasikan dalam pengembangan sumber daya manusia, sistem dan prosedur, demi kebaikan kinerja di masa depan. Melalui metode yang sama dapat di nilai pula apa yang telah dibina dalam intangible assets seperti merk dan loyalitas pelanggan. Soal Latihan 1. Apa yang dmaksud dengan Balanced Scorecard ? 2. Jelaskan dengan singkat 4 langkah Balanced Scorecard menurut pendapat Kaplan dan Norton? 3. Sebutkan dan jelaskan empat perspektif Balanced Scorecard! 4. Bagaimana tolak ukur kinerja perspektif pelanggan ! 5. Bagaimana menurut pendapat saudara tent ang “Mengukur Kinerja Organisasi Masa Depan”. 6. Apasaja kriteria pengguna Balanced Scorecard sebagai pengukuran kinerja suatu perusahaan ! 7. Bagaimana keunggulan Balanced Scorecard dari segi komprehensif ! 8. Hal apasaja yang harus diperhatikan dalam pengukuran dalam perspektif kepuasan konsumen ? 9. Sistem manajemen yang digunakan oleh perusahaan tidak cocok dengan tuntutan lingkungan bisnis yang dimasuki oleh perusahaan. Bagaimana pendapat anda tentang hal tersebut sehubungan dengan penggunaan Balanced Scorecard untuk pengukuran kinerja. 10. Langkah-langkah dalam balanced scorecard meliputi empat proses manajemen baru yaitu mengkombinasikan antara tujuan strategi jangka panjang dengan peristiwa jangka pendek. Sebutkan ke empat langkah tersebut ! Referensi Husein Umar. (2002). Evaluasi Kinerja Perusahaan. Jakarta: Gramedia. Kaplan, R. S dan David Norton. 2000. Balanced Scorecard: MenerapkanStrategi Menjadi Aksi, Terjemahan oleh Peter R. Yosi Pasla dari Balanced Scorecard: Translating Strategi Into Action (1996). Erlangga. Jakarta. Mulyadi. 2001. Balanced Scorecard: Alat Manajemen Kontemporer untuk pelipatganda Kinerja Keuangan Perusahaan. Jakarta: Salemba empat. Mulyadi. 2007. Sistem Perencanaan dan Pengendalian Manajemen. Jakarta: Salemba Empat. Mirza, Teuku. 1997. Balance Scorecard. Usahawan. No. 06 tahun XXVI PERSPEKTIF KEUANGAN A. Pendahuluan Balanced Scorecard tetap menggunakan perspektif keuangan karena ukuran kinerja keuangan dapat memberikan petunjuk apakah strategi perusahaan, implementasi, dan pelaksanaannya memberikan kontribusi atau tidak pada peningkatan laba perusahaan. Perspektif Keuangan berkaitan dengan kinerja keuangan organisasi di dalam perusahaan. Kinerja keuangan sangat penting dalam operasional bisnis lingkungan sebuah organisasi di dalam perusahaan, terutama yang menyangkut laba yang merupakan satu-satunya unsur yang dapat digunakan dalam mendukung perwujudan tujuan strategik untuk mempertahankan dan mengembangkan eksistensi organisasi di dalam perusahaan sekarang dan di masa mendatang. Dengan kata lain tolok ukur kinerja keuangan bermaksud untuk mengetahui apakah strategi bisnis dan implementasinya sesuai dengan tujuan untuk meraih laba yang ditargetkan. 1. Kompetensi Dasar Kompetensi materi mata ajar ini adalah pembaca diharapkan mampu memahami pengetahuan tentang perspektif ekonomi, pengukuran kinerja keuangan, analisis rasio keuangan dan tujuan kinerja keuangan. 2. Indikator Indikator keberhasilan diukur dengan kriteria penilaian berdasarkan aspek-aspek atau konsep-konsep yang dinilai mulai dari tingkat sempurna sampai tingkat terendah. Indikator penilaian dihitung dengan menggunakan rumus berikut : Arti tingkat penguasaan yang diperoleh : 85% – 100% = Sangat Baik 70% – 84% = Baik 55% – 69% = Cukup 0% – 54% = Kurang 3. Materi Pokok Materi pokok pada bab ini akan mambahas tentang perspektif ekonomi, pengukuran kinerja keuangan, analisis rasio keuangan dan tujuan kinerja keuangan. 4. Tujuan Setelah mempelajari materi ajar ini pembaca diharapkan : a. Mampu memberikan penjelasan tentang pengukuran kinerja keuangan b. Mampu menjelaskan analisis rasio keuangan; c. Mampu menjelaskan tujuan kinerja keuangan; B. Pengertian kinerja keuangan Kinerja keuangan merupakan ukuran prestasi perusahaan maka keuntungan adalah merupakan salah satu alat yang digunakan oleh para manajer (Van Horne, 2012). Kinerja keuangan juga akan memberikan gambaran efisiensi atas pengunaan dana mengenai hasil akan memperoleh keuntungan dapat dilihat setelah membandingkan pendapatan bersih setelah pajak. Kinerja keuangan merupakan kegiatan perusahaan yang ditujukan untuk mendapatkan dan menggunakan modal dengan cara yang efektif dan efisien (Irham, 2011). Kinerja keuangan adalah suatu analisis yang dilakukan untuk melihat sejauhmana suatu perusahaan telah melaksanakan dengan menggunakan aturan-aturan pelaksanaan keuangan secara baik dan benar. Kinerja perusahaan merupakan suatu gambaran tentang kondisi keuangan suatu perusahaan yang dianalisis dengan alat-alat analisis keuangan sehingga dapat diketahui mengenai baik buruknya keadaan keuangan perusahaan yang mencerminkan prestasi kerja dalam periode tertentu. Hal ini sangat penting agar sumberdaya digunakan secara optimal dalam mengatasi perubahan lingkungan (Fahmi, 2011) Kinerja keuangan menurut Tampubolon (2005) yaitu: Pengukuran kinerja perusahaan yang ditimbulkan sebagi akibat dari proses pengambilan keputusan manajemen karena menyangkut pemanfaatan modal, efisiensi dan rentabilitas dari kegiatan perusahaan. Kinerja keuangan yaitu alat untuk mengukur prestasi kerja keuangan perusahaan melalui struktur permodalannya. Penilaian kinerja perusahaan harus diketahui output maupun inputnya. Output adalah hasil dari suatu kinerja karyawan atau perusahaan, sedangkan input adalah keterampilan atau alat yang digunakan untuk mendapatkan hasil tersebut. Suatu kinerja keuangan yang seringkali dipakai dan diketahui oleh umum adalah analisis laporan keuangan dengan menghitung tingkat likuiditas, solvabilitas, dan profitabilitas suatu perusahaan (Irham, 2011). Mengukur kinerja perusahaan dapat dilakukan dengan membandingkan rasio-rasio antara perusahaan yang satu dengan perusahaan lainnya yang sejenis lainnya. Hal ini tentu saja sangat berguna bagi investor dalam mengetahui kondisi perusahaan- perusahaan pada kelompok industri tertentu untuk menentukan mana yang terbaik dan lebih menguntungkan dilihat dari perbandingan kinerja perusahaan. Analisis rasio keuangan merupakan cara analisis yang sangat efektif dan lebih mudah saat digunakan untuk mengukur kinerja keuangan jika dibandingkan dengan alat analisis yang lainnya karena akan sangat membantu perusahaan dalam menilai prestasi manajemen dimasa lalu dan prospeknya dimasa mendatang. C. Pengukuran kinerja Keuangan Menurut Kaplan dan Norton yang dialih bahasakan oleh Pasla (2000) penggunaan tolak ukur keuangan diawali dengan penentuan posisi strategik perusahaan pada daur hidup bisnis yang terbagi dalam tiga tahapan daur hidup, yaitu: “1. Bertumbuh (Growth), 2. Bertahan (Sustain), 3. Menuai (Harvest).” Berikut ini penjelasan dari tahapan-tahapan daur hidup tersebut diatas: 1. Bertumbuh (Growth) Tahap bertumbuh merupakan tahap awal siklus kehidupan perusahaan dimana perusahaan memiliki produk atau jasa yang secara signifikan memiliki potensi pertumbuhan yang terbaik. Dalam hal ini manajemen terkait dengan komitmen untuk mengembangkan suatu produk atau jasa baru, membangun dan mengembangkan suatu produk atau jasa dan fasilitas operasi, mengembangkan sistem, infrastruktur, dan jaringan distribusi yang akan membina hubungan global serta membina dan mengembangkan hubungan dengan pelanggan. 2. Bertahan (Sustain) Sebagian besar unit bisnis dalam sebuah perusahaan mungkin berada pada tahap bertahan, yaitu situasi dimana unit bisnis masih memiliki daya tarik baik penanaman investasi dan investasi ulang, tetapi diharapkan mampu menghasilkan pengembangan modal yang cukup tinggi. Dalam tahap ini perusahaan mencoba mempertahankan pasar yang ada, bahkan mengembangkannya jika mungkin. Sasaran keuangan pada tahap ini diarahkan pada besarnya tingkat pengembalian atas investasi yang dilakukan. Tujuan finansial dalam tahap ini bertumpu pada ukuran finansial tradisional, seperti ROCE, laba operasi, dan marjin kotor. 3. Menuai (Harvest) Tahap ini merupakan tahap kematangan (mature), suatu tahap dimana perusahaan melakukan panen (harvest) terhadap investasi mereka. Perusahaan tidak lagi melakukan investasi lebih jauh kecuali hanya untuk memelihara dan perbaikan fasilitas, tidak untuk melakukan ekspansi atau membangun suatu kemampuan baru. Tujuan utama dalam tahap ini adalah memaksimumkan arus kas yang masuk ke perusahaan. Sasaran keuangan untuk harvest adalah cash flow dan pengurangan modal kerja yang diperlukan serta yang mampu dikembalikan dari investasi di masa lalu. Strategi dalam perspektif keuangan antara lain : a. Revenue growth mengembangkan produk dan jasa untuk memcapai pasar dan pelanggan baru melalui penawaran value added yang tinggi dan harga baru. b. Cost reduction/productivity improvement, merendahkan direct cost dan mengurangi indirect cost dan menggunakan resources bersama-sama dengan unit bisnis lain. c. Asset utilization / investment strategy, mengurangi working capital untuk mendukung volume dan bisnis mix, menggunakan resources yang langka dengan efisien menciptakan bisnis baru untuk kapasitas yang tidak terpakai, menyempurnakan penggunaan asset. Untuk setiap strategi pertumbuhan, bertahan dan menuai, ada tiga tema finansial yang dapat mendorong penetapan strategi bisnis, yaitu : 1. Bauran dan pertumbuhan pendapatan, dimana meliputi berbagai usaha untuk memperluas penawaran produk dan jasa, menjangkau pelanggan dan pasar baru, mengubah bauran produk dan jasa ke arah penciptaan nilai tambah yang lebih tinggi, serta penetapan ulang harga produk dan jasa. 2. Penghematan biaya/peningkatan produktifitas, tujuannya untuk menurunkan biaya langsung produk dan jasa, mengurangi biaya tidak langsung, dan pemanfaatan secara bersama sumber daya perusahaan. 3. Pemanfaatan aktiva/strategi investasi, untuk ini para manejer berusaha untuk mengurangi tingkat modal kerja yang dibutuhkan untuk mendukung volume dan bauran bisnis tertentu. Mereka juga berusaha untuk lebih memanfaatkan basis aktiva tetap, dengan mengarahkan berbagai bisnis baru kepada sumber daya perusahaan yang saat ini belum digunakan dengan kapasitas penuh, menggunakan secara lebih efisien sumberdaya yang langka, dan melepas aktiva yang tidak memberikan pengembalian yang memadai sebesar nilai pasarnya. Ketiga tahap perkembangan perusahaan tersebut, terdapat tiga tema financial yang mendorong suatu strategi bisnis seperti yang dikemukakan oleh Amin Widjadja Tunggal (2001), yaitu: 1. Pertumbuhan dan kombinasi pendapatan yang meliputi perluasan produk dengan nilai tambah yang lebih banyak dan penentuan harga kembali. 2. Reduksi biaya atau pertumbuhan produktivitas yang berkaitan dengan usaha untuk menekan biaya langsung maupun tidak langsung. 3. Utilitas aset atau strategi investasi, dimana tema ini berkenaan dengan usaha dalam menjamin reduksi modal kerja yang digunakan dalam bisnis dengan level tertentu, serta menaikan tingkat penggunaan aktivitas tetap perusahaan. Di dalam ketiga tema tentang financial yang mendorong suatu strategi bisnis tersebut adalah merupakan alat bantu untuk perusahaan dalam mengambil suatu keputusan atau langkah dalam menjalankan suatu strategi bisnis jangka panjang. D. Analisis Rasio Keuangan Menurut Brigham dan Houston yang dialih bahasakan oleh Herman Wibowo (1994) menyatakan bahwa: “Analisis laporan keuangan melaporkan posisi keuangan perusahaan pada saat tertentu maupun hasil operasinya selama periode yang lalu. Laporan keuangan tersebut dapat digunakan untuk membantu meramalkan laba dan dividen perusahaan dimasa mendatang”. Untuk dapat memperoleh gambaran tentang perkembangan keuangan suatu perusahaan, perlu mengadakan interpretasi atau analisis terhadap data keuangan dari perusahaan yang bersangkutan, dan data keuangan itu akan tercermin dalam laporan keuangannya. Analisis laporan keuangan diawali dengan penetapan tujuan analisis. Setelah tujuan analisis ditetapkan, data dikumpulkan dari laporan keuangan dan dari sumber-sumber lainnya. Hasil analisis lalu dirangkum dan diartikan. Simpulan tercapai dan laporan diberikan kepada orang yang menghendaki pelaksanaan analisis tersebut. Untuk menilai kondisi keuangan dan prestasi perusahaan, analis keuangan memerlukan beberapa tolak ukur. Tolak ukur yang sering dipakai adalah rasio atau indeks, yang dapat menghubungkan dua data keuangan yang satu dengan yang lainnya. Analisis dan interpretasi dari macam-macam rasio dapat memberikan pandangan yang lebih baik tentang kondisi keuangan dan prestasi perusahaan bagi para analis yang ahli dan berpengalaman dibandingkan analisis yang hanya didasarkan atas data keuangan sendiri-sendiri yang tidak berbentuk rasio. Analisis rasio keuangan, yang menghubungkan unsur-unsur neraca dan perhitungan laba rugi satu dangan lainnya., dapat memberikan gambaran tentang sejarah perusahaan dan penilaian posisinya pada saat ini. Analisis rasio keuangan juga memungkinkan manajer keuangan memperkirakan reaksi para kreditor dan investor dan memberikan pandangan ke dalam tentang bagaimana kira-kira dana dapat diperoleh. Rasio analisis keuangan meliputi dua jenis perbandingan. Pertama, analis dapat membandingkan rasio sekarang dengan yang lalu dan yang akan datang untuk perusahaan yang sama (perbandingan internal). Kedua, perbandingan meliputi perbandingan rasio perusahaan dengan perusahaan lainnya yang sejenis atau dengan rata-rata industri pada saat satu titik yang sama (perbandingann eksternal). Rasio harus digunakan dengan cermat. Rasio umumnya tidak boleh dijadikan satu-satunya dasar dalam pengambilan keputusan. Tetapi harus dianggap sebagai bukti tambahan yang mengarahkan kita pada pengambilan keputusan. Jenis Rasio Keuangan Pada dasarnya ada banyak macam rasio yang dibuat sesuai dengan analisis. Namun angka-angka rasio yang ada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua golongan atau dua kelompok. Golongan pertama adalah berdasarkan sumber data keuangan yang merupakan unsur atau elemen dari angka rasio tersebut dan golongan yang kedua adalah berdasarkan pada tujuan dari para analis. Rasio finansial umumnya diklasifikasikan menjadi empat rasio (Alwi, 1993) yaitu : 1. Rasio likuiditas Pada umumnya perhatian utama dari analisis keuangan adalah likuiditas. Likuiditas (liquidity) jangka pendek merupakan kemampuan sebuah perusahaan dalam memenuhi kewajiban yang jatuh tempo saat ini. Jangka pendek merupakan masa satu tahun atau siklus operasi normal perusahaan, tergantung mana yang lebih lama. Aktivitas merupakan tingkat efisiensi perusahaan dalam menggunakan aktivitas lancarnya. Dalam mengevaluasi likuiditas, para analis harus memperhatikan informasi yang berhubungan dengan jumlah, waktu, dan kepastian arus kas perusahaan dimasa depan. Kemampuan perusahaan untuk membayar hutang jangka pendek diukur dari kemampuannya untuk mendapatkan kas (alat pembayaran) atau kemampuan untuk mengkonversikan aktiva nonkas menjadi kas. Pada umumnya aspek likuiditas tidak dipandang hanya suatu saat, tetapi dikaitkan dengan satu periode tahun buku atau kadang-kadang diidentifikasikan dengan siklus operasi normal perusahaan. Umumnya siklus operasi perusahaan mencakup jangka waktu satu tahun buku. Bambang Riyanto (1995) menyatakan: “Likuiditas adalah berhubungan dengan masalah kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansialnya yang segera dipenuhi.” Dengan demikian maka likuiditas perusahaan berarti kemampuan perusahaan untuk dapat menyediakan alat-alat likuid sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kewajiban keuangannya pada saat ditagih. Apabila kemampuan membayar tersebut dihubungkan dengan kewajiban keuangan untuk menyelenggarakan proses produksi, maka dinamakan likuiditas perusahaan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pengertian likuiditas dimaksudkan sebagai sebagai perbandingan antara jumlah uang tunai dan aktiva lain yang dapat disamakan dengan uang tunai disatu pihak dengan jumlah hutang dilain pihak, juga dengan pengeluaran untuk menyelenggarakan perusahaan dilain pihak. Rasio likuiditas terdiri dari : a. . Current Ratio merupakan ukuran yang paling umum digunakan untuk menganalisis posisi modal suatu perusahaan yaitu dengan cara membandingkan antar jumlah aktiva lancar dengan hutang lancar. Rasio ini menunjukkan tingkat keamanan kreditor jangka pendek atau kemampuan perusahaan untuk membayar hutang-hutang tersebut. Semakin tinggi Current Ratio semakin tinggi pula kemampuan perusahaan untuk membayar tagihan-tagihan. Current ratio yang tinggi menunjukkan jaminan yang lebih baik atas hutang jangka pendek. Apabila terlalu tinggi efeknya terhadap earning power kurang baik karena tidaksemua modal kerja dapat didayagunakan. b. . Elemen-elemen aktiva lancar selain inventori, dianggap paling likuid untuk menjamin pembayaran hutang pada saat jatuh tempo. Kreditur akan memperhatikan rasio ini untuk pemberian kredit. Apabila rasio ini kurang dari 100% maka posisi likuiditas dianggap kurang baik. c. . Cash ditambah dengan efek-efek merupakan alat likuid yang paling dipercaya. Bertambah tinggi cash ratio berarti jumlah uang cash yang tersedia semaikn besar, sehingga pelunasan hutang pada saatnya tidak akan mengalami kesulitan, tetapi bila terlalu tinggi akan mengurangi potensi untuk mempertinggi rate of return. 2. Rasio solvabilitas (leverage) Solvabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya jika perusahaan dilikuidasi. Baik kewajiban jangka pendek maupun jangka panjang. Suatu perusahaan yang solvable berarti bahwa perusahaan tersebut mempunyai aktiva atau kekayaan yang cukup untuk membayar semua utang-utangnya, tetapi tidak dengan sendirinya berarti bahwa perusahaan tersebut likuid. Rasio solvabilitas terdiri dari : a. Rasio ini mengukur sejauh mana perusahaan dibelanjai oleh pihak kreditur. Makin tinggi ratio ini, berarti semakin besar dana yang diambil dari luar. Ditinjau dari sudut solvabilitas rasio yang tinggi relatif kurang baik, karena bila terjadi likuidasi perusahaan akan mengalami kesulitan. b. Beberapa bagian dari keseluruhan dana yang dibelanjai dengan utang. Atau Berapa bagian dari aktiva yang digunakan untuk menjamin utang. c. . Bagian setiap rupiah modal sendiri yang dijadikan jaminan untuk hutang jangka panjang. d. . Besarnya jaminan keuntungan yang digunakan untuk membayar bunga Hutang jangka panjang. Kreditur disamping melihat besarnya hutang dan kekayaan yang menjadi jaminan juga memperhatikan kemampuan dalam memberikan servis atas hutang tersebut. Time interest yang rendah menunjukkan gejala yang kurang menguntungkan, karena laba yang tersedia untuk membayarbeban bunga relatif kecil dan sebaliknya. 3. Rasio aktivitas Rasio yang mengukur seberapa efektif manajemen yang ditujukan oleh laba yang dihasilkan dari penjualan dan investasi perusahaan. a. . Perputaram yang lambat dari aktiva menunjukkan adanya hambatan. Turunmya penjualan akan mempengaruhi rasio ini, diharapkan perputaran total assets semakin naik yang berarti pemakaian lebih efisien. b. . Receivable turn over yang tinggi menunjukkan semakin cepat pengembalian modal dalam bentuk kas, karena collection periodnya lebih pendek. Bila periode pengumpulan piutang lebih panjang dari term of credit berarti kurang baik. c. . Periode rata-rata yang dibutuhkan dalam pengumpulan pihutang, dimana tidak melebihi term of credit. d. . Untuk menilai efektivitas modal kerja dapat digunakan rasio antara total penjualan dengan modal kerja rata-rata tersebut (working capital turn over). Rasio ini menunjukkan hubungan antara modal kerja dengan penjualan dan menunjukkan banyaknya penjualan yang dapat diperoleh perusahaan untuk tiap rupiah modal kerja. Working capital turn over yang rendah menunjukkan adanya kelebihan modal kerja yang mungkin disebabkan rendahnya turn over persediaan piutang atau adanya saldo kas yang terlalu besar. e. . Kemampuan dana yang tertanam dalam inventory berputar dalam satu periode tertentu. Bila rasio ini rendah berarti masih banyak stok yang belum terjual. Hal ini akan menghambat cash flow sehingga berpengaruh terhadap keuntungan. f. . Kemampuan dana yg tertanam dlm aktiva tetap dlm 1 periode Semakin rendah fixed asset turn over berarti penggunaan aktiva tetap kurang efisien karena adanya idle capacity. 4. Rasio profitabilitas Rasio yang menunjukkan seberapa besar keuntungan yang diperoleh perusahaan tersebut. a. . Rasio yang dipengaruhi oleh penjualan dan biaya operas Laba Bruto per rupiah penjualan Rasio yang rendah, bisa disebabkan oleh turunnya penjualan lebih besar dari turunnya biaya dan sebaliknya. b. . Keuntungan neto per rupiah penjualan. c. . Biaya operasi per rupiah penjualan. semakin tinggi operating ratio semakin kurang baik karena biaya-biaya operasi naik. Gejala ini menunjukkan adanya pemborosan. d. Return on Equity. Rasio ini memperlihatkan sejauhmana perusahaan mengelola modal sendiri (net worth) secara efektif, mengukur tingkat keuntungan dari investasi yang telah dilakukan pemilik modal sendiri atau pemegang saham perusahaan. ROE menunjukkan rentabilitas modal sendiri atau yang sering disebut sebagai rentabilitas usaha. e. Return on Invesment ROI merupakan pengukuran kemampuan perusahaan secara keseluruhan di dalam menghasilkan keuntungan dalam jumlah keseluruhan aktiva yang tersedia di dalam perusahaan. Semakin tinggi rasio ini, semakin baik pula keadaan suatu perusahaan. f. . Kemampuan modal yang diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva untuk menghasilkan keuntungan bagi semua investor. Tinggi rendahnya earning power memberikan indikasi seberapa jauh efisiensi penggunaan modal dan naik turunnya penjualan serta biaya. Diharapkan earning power yang diperoleh akan lebih besar dari cost of capital dari dana yang digunakan. g. Earning per share Jumlah keuntungan yang tersedia bagi pemegang saham adalah keuntungan setelah dikurangi pajak pendapatan. Keuntungan neto ini setelah dikurangkan dengan dividend dan hak-hak lainnya untuk pemegang saham preferensi, merupakan keuntungan yang tersedia untuk pemegang saham biasa. Dengan membagi jumlah keuntungan yang tersedia untuk pemegang saham biasa dengan jumlah lembar saham biasa yang beredar akan diketahui jumlah keuntungan untuk setiap lembar saham tersebut. Beberapa rasio keuangan lainnya yang dapat digunakan dalam pengukuran kinerja keuangan, antara lain: 1. Net Profit Margin (NPM) Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan net income (Laba bersih) dari kegiatan operasi pokok bagi perusahaan yang bersangkutan untuk mengetahui efisiensi suatu perusahaan NPM dinilai baik, bila selama periode pengamatan hasil perhitungan NPM mengalami peningkatan, dinilai cukup baik apabila konstan dan dinilai kurang apabila mengalami penurunan (Vincent Gaspers, 2002). 2. ROI (Return on Investment) Tingkat Pengembalian Investasi dari pendapatan operasional atau yang biasanya disebut ROI yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan dari modal yang diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva untuk menghasilkan laba bersih. ROI dinilai baik, bila selama periode pengamatan hasil perhitungan ROI mengalami peningkatan, dinilai cukup baik apabila konstan dan dinilai kurang apabila mengalami penurunan (Vincent Gaspers, 2002) 3. Rasio Ekonomi Rasio yang menggambarkan kehematan dalam penggunaan anggaran yang mencakup juga pengelolaan secara hati-hati atau hemat dan tidak ada pemborosan. Kriteria ekonomis menurut Mohammad Mahsun (2006) sebagai berikut : Tabel 3.1 Kriteria Tingkat Ekonomis Kinerja Keuangan Presentase Kinerja Keuangan Kriteria Kurang dari 100% Ekonomis Sama dengan 100% Ekonomis berimbang Lebih dari 100% Tidak ekonomis 4. Rasio Efisiensi : Efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara belanja yang dikeluarkan terhadap realisasi pendapatan. Apabila sasaran yang ingin dicapai oleh suatu kebijakan publik ternyata sangat sederhana sedangkan biaya yang dikeluarkan melalui proses kebijakan terlampau besar. Tabel 3.2 Kriteria Tingkat Efisiensi Kinerja Keuangan Kriteria Efisiensi Keterangan >100% Tidak Efisien 90,01%-100% Kurang Efisien 80,01%-90% Cukup Efisien 60,01%-80% Efisien 100% Sangat Efektif 90,01 %-100% Efektif 80,01%-90% Cukup Efektif 60,01%-80% Kurang Efektif 0, terjadi proses nilai tambah perusahaan, kinerja keuangan perusahaan baik. Bila EVA = 0, menunjukkan posisi impas perusahaan. Bila EVA < 0, berarti biaya modal perusahaan lebih besar dari pada laba operasi setelah pajak yang diperolehnya, sehingga kinerja keuangannya tidak baik. Total biaya modal menunjukkan besarnya kompensasi atau pengembalian yang diminta investor atas modal yang diinvestasikan di perusahaan. Besarnya kompensasi tergantung pada tingkat risiko perusahaan yang bersangkutan, dengan asumsi bahwa investor bersifat penghindar risiko semakin tinggi tingkat risiko semakin tinggi tingkat pengembalian yang diminta investor. Modal terdiri dari modal sendiri (ekuitas) berasal dari pemegang saham dan dari utang para kreditor atau pemegang obligasi perusahaan. Besarnya tingkat biaya modal ditentukan berdasarkan rata-rata tertimbang dari biaya modal sendiri dan biaya utang setelah pajak sesuai dengan proporsi modal sendiri dan utang dalam struktur modal perusahaan. EVA dapat ditingkatkan dengan cara: 1. Memperoleh lebih banyak laba tanpa menggunakan lebih banyak modal. Cara yang popular dalam hal ini adalah memotong biaya-biaya, bekerja dengan biaya produksi dan pemasaran yang lebih rendah agar diperoleh margin laba yang lebih besar. Hal ini dapat juga dicapai dengan meningkatkan perputaran aktiva, baik dengan cara menaikkan volume penjualan atau bekerja dengan aktiva yang lebih rendah (lower asset). 2. Memperoleh pengembalian (return) yang lebih tinggi daripada biaya modal atas investasi baru. EVA juga memiliki keunggulan (Mirza, 1997) sebagai berikut: a. EVA memfokuskan penilaiannya pada nilai tambah dengan biaya modal sebagai konsekuensi investasi. b. Perhitungan EVA relatif mudah dilakukan, hanya dengan menjadi persoalan adalah perhitungan biaya modal yang memerlukan data yang lebih banyak dan memerlukan analisa mendalam. c. EVA dapat digunakan secara mendiri tanpa memerlukan data pembanding seperti standar industri atau data lain, sebagaimana konsep penilaian dengan menggunakan analisa rasio, karena dalam praktiknya data pembanding ini sering kali tidak tersedia. Di samping keunggulan yang dimiliki, EVA juga ternyata mempunyai kelemahan-kelemahan seperti yang dikemukakan oleh Faisal (2003): a. Secara konseptual, EVA memang lebih unggul dari pada pengukur tradisional akuntansi, namun secara praktis belum tentu dapat diterapkan dengan mudah. b. EVA adalah alat ukur semata dan tidak bisa berfungsi sebagai cara untuk mencapaisasaran perusahaan sehingga diperlukan suatu cara bisnis tertenru untuk mencapai sasaran perusahaan. c. EVA hanya menggambarkan penciptaan nilai pada satu tahun tertentu. d. Masih mengandung unsur keberuntungan (tinggi rendahnya EVA dapat Sedangkan menurut Freddy Rangkuti (2011), kinerja pada perspektif keuangan dapat diukur dengan menggunakan ukuran: 1. Laba investasi (Return on investment-ROI) 2. Peningkatan penjualan 3. Bauran pendapatan (revenue mix) 4. Pemanfaatan aktiva (diukur dengan asset turn over ) 5. Efisiensi biaya Menurut Munawir (2002) penilaian kinerja keuangan mempunyai beberapa peranan bagi perusahaan, yaitu meliputi : 1. Dapat mengukur tingkat biaya dari berbagai kegiatan yang telah dilakukan oleh perusahaan. 2. Untuk menentukan atau mengukur efisiensi setiap bagian, proses atau produksi serta untuk menentukan derajat keuntungan yang dapat dicapai oleh perusahaan yang bersangkutan. 3. Untuk menilai dan mengukur hasil kerja pada tiap-tiap bagian individu yang telah diberikan wewenang dan tanggung jawab. 4. Untuk menentukan perlu tidaknya digunakan kebijaksanaan atau prosedur yang baru untuk mencapai hasil yang lebih baik. Menurut Weston dan Copeland (1995), pengukuran kinerja dengan menggunakan rasio-rasio keuangan mempunyai keterbatasan yaitu : 1. Rasio ini disusun berdasarkan data akuntansi dan data ini dipengaruhi oleh cara penafsiran yang berbeda dan bahkan bisa merupakan hasil manipulasi. 2. Jika perusahaan menggunakan tahun fiskal yang berbeda atau jika faktor musiman merupakan pengaruh yang penting maka akan mempunyai pengaruh pada rasio-rasio perbandingannya. 3. Analisis harus sangat hati-hati dalam menentukan baik buruknya suatu rasio dalam membentuk suatu penilaian menyeluruh dari perusahaan berdasarkan serangkaian rasio keuangan. 4. Rasio yang sesuai dengan rata-rata industri tidak memberikan kepastian bahwa perusahaan berjalan normal dan memiliki manajemen yang baik. Sedangkan menurut Robert S. Kaplan dan David P. Norton (1996) kelemahan-kelemahan pengukuran kinerja yang menitik beratkan pada kinerja keuangan yaitu: 1. Ketidakmampuan mengukur kinerja harta-harta tidak tampak (intangible Assets) dan harta-harta intelektual (sumber daya manusia) perusahaan. 2. Kinerja keuangan hanya mampu bercerita mengenai sedikit masa lalu perusahaan dan tidak mampu sepenuhnya menuntun perusahaan ke arah yang lebih baik. E. Tujuan Kinerja Keuangan Menurut Munawir (2005) tujuan kinerja Keuangan adalah mengetahui likuiditas, solvabilitas, rentabilitas dan stabilitas dalam membayar kewajibannya. Adapun tujuan pengukuran kinerja antara lain mempertimbangkan kemampuan perusahaan untuk membayar cicilan secara teratur kepada pemegang saham tanpa mengalami hambatan. Tujuan keuangan yang berkaitan dengan pertumbuhan pendapatan, peningkatan produktivitas, dan penghematan biaya serta pemanfaatan aktiva menggambarkan tujuan jangka panjang perusahaan yaitu pengembalian modal investasi yang tinggi dari setiap unit bisnis. Penerapan Balanced Scorecard membantu tercapainya tujuan keuangan ini. Rangkuman Kinerja keuangan adalah suatu analisis yang dilakukan untuk melihat sejauhmana suatu perusahaan telah melaksanakan dengan menggunakan aturan-aturan pelaksanaan keuangan secara baik dan benar. Kinerja perusahaan merupakan suatu gambaran tentang kondisi keuangan suatu perusahaan yang dianalisis dengan alat-alat analisis keuangan sehingga dapat diketahui mengenai baik buruknya keadaan keuangan perusahaan yang mencerminkan prestasi kerja dalam periode tertentu. Hal ini sangat penting agar sumberdaya digunakan secara optimal dalam mengatasi perubahan lingkungan. Suatu kinerja keuangan yang seringkali dipakai dan diketahui oleh umum adalah analisis rasio keuangan dengan menghitung tingkat likuiditas, solvabilitas, aktivitas dan profitabilitas suatu perusahaan. Mengukur kinerja perusahaan dapat dilakukan dengan membandingkan rasio-rasio antara perusahaan yang satu dengan perusahaan lainnya yang sejenis lainnya. Hal ini tentu saja sangat berguna bagi investor dalam mengetahui kondisi perusahaan- perusahaan pada kelompok industri tertentu untuk menentukan mana yang terbaik dan lebih menguntungkan dilihat dari perbandingan kinerja perusahaan. Analisis rasio keuangan merupakan cara analisis yang sangat efektif dan lebih mudah saat digunakan untuk mengukur kinerja keuangan jika dibandingkan dengan alat analisis yang lainnya karena akan sangat membantu perusahaan dalam menilai prestasi manajemen dimasa lalu dan prospeknya dimasa mendatang. Analisis keuangan lain yang juga biasa digunakana yaitu EVA (Economic Value Added). EVA merupakan indikator tentang adanya penambahan nilai dari suatu investasi. EVA yang positif menunjukkan bahwa manajemen perusahaan berhasil meningkatkan nilai perusahaan bagi pemilik perusahaan sesuai dengan tujuan manajemen keuangan memaksimumkan nilai perusahaan. Soal Latihan. 1. Sebutkan beberapa keunggulan EVA. 2. Jelaskan tentang time interest earned ratio ! 3. Pada daur hidup bisnis yang terbagi dalam tiga tahapan daur hidup, yaitu: “1. Bertumbuh (Growth), 2. Bertahan (Sustain), 3. Menuai (Harvest).” Jelaskan dengan singkat tentang tahapan tersebut ! 4. Sebutkan apasaja keterbatasan-keterbatasan saat menggunakan analisis rasio sebagai analisis keuangan. 5. Jelaskan tentang rasio efisiensi dan efektivitas beserta pengukurannya. 6. Apasaja tujuan pengukuran kinerja keuangan ? 7. Jelaskan dengan singkat tentang analisis EVA. 8. Jelaskan tentang rasio profitabilitas dan pengukurannya ! 9. Sebutkan apa saja yang menjadi kelemahan dalam pengukuran kinerja keuangan. 10. Jelaskan tentang earning power dan fungsinya? Referensi Abdul Halim, dkk,. (2012). Akuntansi Manajemen. Yogyakarta: BPFE. Alwi, Syafarudin. 1993. Alat –Alat Analisis dalam Pembelanjaan. Edisi Ketiga. Andi Offset. Yogyakarta. Fahmi, Ilham. 2011. Manajemen Kinerja: Teori dan Aplikasi. Bandung: Alfabeta Irham Fahmi. 2011. Analisis Laporan Keuangan (Edisi 1).Lampulo : Alfabeta. Bandung Kaplan, Robert S and David P Norton. 1996. Balanced Scorecard :Menerapkan Strategi Menjadi Aksi. Erlangga: Jakarta Kasmir, 2014. Analisa Laporan Keuangan. PT. Rajagrafindo Persada: Jakarta Korporat yang Efektif plus Cara Mengelola Kinerja dan Risiko: Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Muhamad Mahsun. (2013). Pengukuran Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: BPFE. Munawir, S. 2012. Analisis Informasi Keuangan. Liberty. Yogyakarta. Rangkuti Freddy. 2011. SWOT Balanced Scorecard, Teknik Menyusun Strategi Teuku Mirza. 1997. ”Balance Scorecard”. Usahawan. No. 06 tahun XXVI Van Horne, James C dan Wachowicz Jr, John M. 2012. Prinsip-Prinsip Manajemen Keuangan (Edisi 13). Jakarta : Salemba Empat. Vincent Gaspers. (2002). Balanced Scorecard dengan Six Sigma untuk Organisasi Bisnis dan Pemerintah. Jakarta: Gramedia. Wijaya, Tunggal, Amin. 2001. ”Mamahami Konsep Balance Scorecard”. Cetakan ke 2. Harvindo. Weston, J. Fred dan Thomas, E Copeland. 1995. ”Manajemen Keuangan”. Jilid I, Edisi ke 9, Jakarta ; Binarupa Aksana. PERSPEKTIF KEPUASAN PELANGGAN A. PENDAHULUAN Dalam pasar global yang hiperkompetitif, hampir semua bisnis tidak akan bisa bertahan kepuasan pelanggan tidak terpenuhi dan pelanggan memiliki loyalitas yang tinggi. Adanya ketidakpuasan pelanggan akan berdampak pada beralihnya para pelanggan ke pemasok lain yang sejenis. Perusahaan yang mengalami kegagalan dalam mempertahankan pelanggannya akan mengalami banyak permasalahan dan akan berdampak buruk pada penyampaian konsumen ke konsumen yang lainnya (words of mouth) akan pengalaman yang tidak sesuai harapan akibatkan dari ketidakpuasan tersebut. Pelanggan yang puas akan cenderung lebih loyal, tidak mudah tergoda akan beralihnya ke pemasok lain yang akan menawarkan harga lebih murah serta berpotensi untuk menyebarkan berita positif ke banyak orang dari efek kepuasannya. Bab ini akan lebih detail membahas tentang perspektif kepuasan konsumen ukuran pokok pespektif kepuasan konsumen, pangsa pasar, kepuasan pelanggan, retensi pelanggan dan profitabilitas pelanggan. 1. Kompetensi Dasar Kompetensi materi mata ajar ini adalah pembaca diharapkan mampu memahami pengetahuan tentang perspektif kepuasan konsumen sebagai modal pengetahuan awal untuk mengenal Balanced Scorecard secara keseluruhan. 2. Indikator Indikator keberhasilan diukur dengan kriteria penilaian berdasarkan aspek-aspek atau konsep-konsep yang dinilai mulai dari tingkat sempurna sampai tingkat terendah. Indikator penilaian dihitung dengan menggunakan rumus berikut : Arti tingkat penguasaan yang diperoleh : 85% – 100% = Sangat Baik 70% – 84% = Baik 55% – 69% = Cukup 0% – 54% = Kurang 3. Materi Pokok Materi pokok pada bab ini akan mambahas tentang ukuran pokok pespektif kepuasan konsumen, pangsa pasar, kepuasan pelanggan, retensi pelanggan dan profitabilitas pelanggan. 4. Tujuan Setelah mempelajari materi ajar ini pembaca diharapkan : a. Mampu memberikan penjelasan tentang ukuran pokok perspektif kepuasan konsumen; b. Mampu menjelaskan pangsa pasar; c. Mampu menjelaskan kepuasan pelanggan; d. Mampu menjelaskan retensi pelanggan; e. Mampu menjelaskan profitabilitas pelanggan; B. UKURAN POKOK PERSPEKTIF KEPUASAN PELANGGAN. Komponen Balanced Scorecard ini lebih menekankan pada betapa pentingnya proses identifikasi segmen pasar yang akan dituju dan proporsi nilai yang ditawarkan kepada pelanggan. Proporsi nilai mencerminkan nilai superior dibandingkan dengan para pesaing dalam hal tiga manfaat utama yakni manfaat fungsional (atribut kinerja), manfaat emosional (citra) dan manfaat ekonomis (harga). Suatu produk akan semakin bernilai apabila kinerjanya semakin mendekati atau bahkan melebihi dari apa yang diharapkan perusahaan. Menurut Tjiptono (2014), ada beberapa hal yang dijadikan sebagai bahan penilaian pelanggan, seperti yang akan diuraikan dalam tabel berikut : Tabel 4.1 Ukuran pokok perspektif pelanggan Ukuran Perspektif Pelanggan Deskripsi Pangsa Pasar Mencerminkan proporsi bisnis dipasar tertentu (dalam hal jumlah pelanggan, nilai rupiah yang dibelanjakan atau unit volume penjualan) yang dijual oleh unit bisnis. Customer Acquisition Mencerminkan kemampuan unit bisnis untuk menarik atau mendapatkan pelanggan atau bisnis baru. Retensi pelanggan Merefleksikan kemampuan unit bisnis untuk mempertahankan pelanggan Kepuasan Pelanggan Memenuhi tingkat kepuasan pelanggan berdasarkan kriteria kinerja spesifik, seperti kualitas layanan atau kehandalan pengiriman tepat waktu. Profitabilitas Pelanggan Menilai laba bersih per pelanggan atau segmen pelanggan, setelah mengurangkan biaya-biaya khusus yang diperlukan untuk mendukung pelanggan atau segmen pelanggan tersebut. Sumber : Tjiptono, 2014. Dalam perspektif pelanggan dari Balanced Scorecard, perusahaan harus mengidentifikasi pelanggan dan segmen pasar di mana mereka akan berkompetisi (Gaspersz, 2006). Perspektif pelanggan memiliki dua kelompok pengukuran, yaitu: 1. Kelompok pengukuran inti (Core measurement group), yang memiliki beberapa komponen pengukuran, yaitu: a. Pangsa Pasar (Market Share): pangsa pasar ini menggambarkan proporsi bisnis yang dijual oleh sebuah unit bisnis di pasar tertentu. Hal itu diungkapkan dalam bentuk jumlah pelanggan, uang yang dibelanjakan atau volume satuan yang terjual. b. Retensi Pelanggan (Customer Retention): menunjukkan tingkat dimana perusahaan dapat mempertahankan hubungan dengan pelanggan. Pengukuran dapat dilakukan dengan mengetahui besarnya presentase pertumbuhan bisnis dengan pelanggan yang ada saat ini. c. Akuisisi Pelanggan (Customer Acquisition): pengukuran ini menunjukkan tingkat dimana suatu unit bisnis mampu menarik pelanggan baru memenangkan bisnis baru. Akuisisi ini dapat diukur dengan membandingkan banyaknya jumlah pelanggan baru di segmen yang ada. d. Profitabilitas Pelanggan (Customer Profitability): suatu tingkat laba bersih yang diperoleh perusahaan dari suatu target segmen tertentu. e. Kepuasan Pelanggan (Customer Satisfaction): pengukuran ini berfungsi untuk mengukur tingkat kepuasan pelanggan terkait dengan kriteria spesifik dalam value proportion. 2. Proporsi nilai pelanggan (Customer Value Proportion) yang merupakan pemicu kinerja yang terdapat pada Proporsi nilai inti (Core Value Proportion) didasarkan pada atribut sebagai berikut: a. Produk atau atribut layanan yang meliputi fungsi produk atau jasa, harga dan kualitas. Perusahaan harus mengidentifikasikan apa yang diinginkan pelanggan atas produk atau jasa yang ditawarkan. b. Hubungan pelanggan adalah strategi dimana perusahaan mengadakan pendekatan agar perasaan pelanggan merasa puas atau produk atau jasa yang ditawarkan perusahaan. c. Gambar dan reputasi adalah membangun image dan reputasi dapat dilakukan melalui iklan dan menjaga kualitas seperti yang dijanjikan. C. PANGSA PASAR Pangsa pasar telah menjadi pusat perhatian perusahaan dalam menilai kekuatan pasar. Pangsa pasar yang besar biasanya menandakan kekuasaan pasar yang besar, sebaliknya pangsa pasar yang kecil maka perusahaan tidak mampu bersaing dalam tekanan persaingan. Pangsa pasar adalah porsi dari penjualan industri dari barang atau jasa yang dikendalikan oleh perusahaan. Analisis pangsa pasar mencerminkan kinerja pemasaran yang dikaitkan dengan posisi persaingan perusahaan dalam suatu industri. Pangsa pasar merupakan persentase dari total penjualan seluruh perusahaan di pasar produk tertentu atau luasnya total pasar yang dapat dikuasai oleh suatu perusahaan yang biasanya dinyatakan dalam bentuk persentase. Menurut John Davis (2007), Pangsa pasar menjelaskan penjualan suatu perusahaan (dalam unit atau rupiah) sebagai suatu persentase tentang volume total penjualan dalam suatu industri pasar atau area produk tertentu. Menurut Husein Umar (2000), Market share (pangsa pasar) merupakan suatu proporsi atau perbandingan antara penjualan industri keseluruhan (total) yang dibuat suatu perusahaan dalam suatu industri. Pangsa pasar adalah (market segment) bagian dari keseluruhan permintaan suatu barang yang mencerminkan golongan konsumen menurut ciri khasnya, seperti dari tingkat pendapatan, umur, jenis kelamin, pendidikan, juga status sosial. Market share ialah bagian pasar yang dikuasai oleh suatu perusahaan dan seluruh potensi jual, biasanya dinyatakan dalam persentase. Atau Pangsa pasar (market share) adalah persentase total dari penjualan suatu perusahaan (dari seluruh sumber) dengan total penjualan jasa ataupun produk dalam industri. Perusahaan mungkin melakukan strategi bauran pemasaran yang keliru dalam mengejar pangsa pasar yang lebih tinggi sehingga tidak menaikkan laba, walaupun bauran pemasaran tertentu efektif dalam meningkatkan pangsa pasar, tetapi tidak semuanya dapat meningkatkan laba perusahaan yang diperoleh. Dengan kata lain pangsa pasar yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan laba, jika biaya per unit yang ada menurun disertai dengan peningkatan pangsa pasar. Dan jika perusahaan menawarkan produk yang berkualitas unggul dan mengenakan harga yang lebih tinggi, yang jauh lebih dari cukup untuk menutup biaya. Ada 4 jenis dalam mendefinisikan dan mengukur pangsa pasar yang ada dalam suatu pasar. Ukuran pangsa pasar tersebut antara lain : 1. Pangsa pasar keseluruhan Pangsa pasar keseluruhan adalah penjualan suatu perusahaan yang penjualnya dinyatakan sebagai persentase dari penjualan pasar secara total atau secara keseluruhan dalam suatu industri. Diperlukan dua keputusan untuk menggunakan ukuran ini, yaitu apakah proses perhitungan pangsa pasar akan menggunakan perhitungan dalam unit penjualan atau dalam pendapatan penjualan (satuan mata uang) untuk menyatakan pangsa pasar. 2. Pangsa pasar yang dilayani Pangsa pasar yang dilayani adalah persentase dari total penjualan terhadap pasar yang telah dilayani oleh suatu perusahaan. Pasar yang dilayani adalah semua pembeli yang dapat dan ingin membeli produknya. 3. Pangsa pasar relatif (untuk 3 pesaing puncak) Pangsa pasar relatif jenis ini hanya menyatakan persentase penjualan suatu perusahaan dari penjualan gabungan 3 perusahaan pesaing terbesar dalam bidang yang sama. 4. Pangsa pasar relatif (terhadap pesaing pemimpin) Beberapa perusahaan melihat pangsa pasar mereka sebagai persentase dari penjualan pesaing pemimpin. Perusahaan yang memiliki pangsa pasar lebih besar 100% disebut sebagai pemimpin pasar, sementara perusahaan yang memiliki pangsa pasar tepat 100% berarti perusahaan tersebut memimpin pasar yang ada bersama- sama. D. KEPUASAN PELANGGAN 1. Konsep Kepuasan Pelanggan Menurut Westbrook & Relly dalam Tjiptono (2014) berpendapat bahwa kepuasan pelanggan adalah resp on emosional terhadap pengalaman-pengalaman berkaitan dengan produk/ jasa tertentu yang dibeli, gerai retail atau bahkan pola perilaku (seperti perikalu berbelanja) serta pasar secara keseluruhan. Respon emosional dipicu oleh proses evaluasi kognitif yang membandingkan persepsi terhadap obyek, tindakan atau kondisi tertentu dengan nilai-nilai (kebutuhan, keinginan dan hasrat) individu. Menurut Kotler dalam Sunyoto (2013), kepuasan konsumen adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan (kinerja atau hasil) yang dirasakan dibandingkan dengan harapannya. Konsumen dapat mengalami salah satu dari tiga tingkat kepuasan umum yaitu kalau kinerja di bawah harapan, konsumen akan merasa kecewa tetapi jika kinerja sesuai dengan harapan pelanggan akan merasa puas dan apa bila kinerja bisa melebihi harapan maka pelanggan akan merasakan sangat puas senang atau gembira. Selain itu, Daryanto dan Setyobudi (2014) mengatakan kepuasan konsumen adalah suatu penilaian emosional dari konsumen setelah konsumen menggunakan produk dimana harapan dan kebutuhan konsumen yang menggunakannya terpenuhi. Dalam buku teks Standart Marketing Management yang ditulis Kotler & Keller (2012) bahwa kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan emosional seseorang setelah membandingkan kinerja (atau hasil) yang dirasakan dibandingkan dengan harapannya. Berbagai studi literatur bahwa salahsatu definisi yang diacu dalam literatur pemasaran adalah definisi berdasarkan disconfirmation paradigm (Oliver, 1997) berdasarkan paradigma ini, kepuasan pelanggan dirumuskan sebagai evaluasi purna jual dimana persepsi terhadap kinerja alternatif produk/jasa yang dipilih memenuhi atau melebihi harapan sebelum pembelian. Apabila persepsi terhadap kinerja tidak bisa memenuhi harapan, maka yang terjadi adalah ketidakpuasan. Dengan demikian ketidakpuasan dinilai sebagai bipolar opposite dari kepuasan (Sreng, et.all. 1996). Sementara itu menurut Craig-Less (1998), pemahaman mengenai perilaku konsumen dalam konteks ketidakpuasan jauh lebih mendalam daripada konteks kepuasan pelanggan. Pemahaman ini berasal dari dua bidang penelitian utama yaitu riset disonansi dan perilaku komplain. Disonansi kognitif dan ketidakpuasan pelanggan merupakan dua konsep yang berbeda namun saling berkaitan. Konsep disonasi kognitif yang dikembangkan oleh Leon Festinger menyatakan bahwa setiap orang membutuhkan keseimbangan / harmoni antara pikiran dan tindakannya. Bila keseimbangan tidak tercapai, akan terjadi disonansi atau rasa tidak tenang. Dalam hal terjadi disonansi ada dua kemungkinan reaksi konsumen. Pertama, mengkonfirmasi atau menjustifikasi pilihannya, misal dengan menerima perbedaan-perbedaan hasil yang dianggap tidak sigifikan. Sedangkan kemungkinan kedua bahwa keputusan yang telah dibuat itu tidak bijaksana atau keliru. Sebaliknya, situasi ketidakpuasan terjadi setelah konsumen menggunakan produk atau mengalami jasa yang dibeli dan merasakan bahwa kinerja produk ternyata tidak memenuhi harapan. Ketidakpuasan bisa menimbulkan sikap negatif terhadap merk maupun produsen/penyedia jasa (bahkan bisa pula distributornya). Berkurangnya pembelian ulang, peralihan merk (Brand Switching) dan berbagai macam perilaku komplain. Ada beberapa manfaat pokok kepuasan pelanggan, diantaranya : 1. Reaksi terhadap produsen berbiaya rendah 2. Manfaat ekonomis retensi pelanggan versus perpetual Prospecting. 3. Nilai kumulatif dari relasi berkelanjutan. 4. Daya persuasif getok tular (word of mouth). 5. Reduksi sensitivitas harga 6. Kepuasan pelanggan sebagai indikator kesuksesan bisnis di masa depan. Pada umumnya program kepuasan pelanggan meliputi kombinasi dari tujuh elemen utama, Yaitu : 1. Barang dan jasa berkualitas. 2. Relationship Marketing 3. Program promosi loyalitas 4. Fokus pada pelanggan terbaik 5. Sistem penanganan komplain secara efektif 6. Unconditional guarantees 7. Pay for performance 2. Komponen Kepuasan pelanggan. Banyak pendapat dari beberapa ahli akan pengertian kepuasan pelanggan. Menurut Giese & Cote (2000) sekalipun banyak definisi kepuasan pelanggan, namun secara umum tetap mengarah kepada tiga komponen utama, yaitu: a. Respon : Tipe dan intensitas Kepuasan konsumen merupakan respon emosional dan juga kognitif. Intesitas responnya mulai dari sangat puas dan menyukai produk sampai sikap yang apatis terhadap produk tertentu. b. Fokus Fokus pada performansi objek disesuaikan pada beberapa standar. Nilai standar ini secara langsung berhubungan dengan produk, konsumsi, keputusan berbelanja, penjual dan toko. c. Waktu respon Respon terjadi pada waktu tertentu, antara lain : setelah konsumsi, setelah pemilihan produk atau jasa, berdasarkan pengalaman akumulatif. Durasi kepuasan mengarah kepada berapa lama respn kepuasan itu berakhir. 3. Obyek Pengukuran Kepuasan Pelanggan. Tidak ada acuan baku yang bersifat universal akan pengukuran kepuasan pelanggan, meskipun demikian dengan banyak beragamnya cara pengukuran kepuasan pelanggan terdapat beberapa persamaan termasuk dalam enam konsep berikut (Tjiptono, 2014): a. Kepuasan pelanggan keseluruhan (Overall Customer Satisfaction) b. Dimensi kepuasasn pelanggan c. Konfirmasi harapan (Confirmation of Espectation) d. Nilai beli ulang (Repurchase Intention) e. Kesediaan untuk merekomendasi (Willingness to Recommed) f. Ketidakpuasan pelanggan (Customer Dissatisfaction). 4. Metode Pengukuran Kepuasan Pelanggan. Menurut Kotler (2012) yang dikutip dari Buku Total Quality Management ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam melakukan pengukuran kepuasan pelanggan, diantaranya : a. Sistem keluhan dan saran Organisasi yang berpusat pelanggan (Customer Centered) memberikan kesempatan yang luas kepada para pelanggannya untuk menyampaikan saran dan keluhan. Informasi-informasi ini dapat memberikan ide-ide cemerlang bagi perusahaan dan memungkinkannya untuk bereaksi secara tanggap dan cepat untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul. b. Ghost shopping Salah satu cara untuk memperoleh gambaran mengenai kepuasan pelanggan adalah dengan mempekerjakan beberapa orang untuk berperan atau bersikap sebagai pembeli potensial, kemudian melaporkan temuan-temuannya mengenai kekuatan dan kelemahan produk perusahaan dan pesaing berdasarkan pengalaman mereka dalam pembelian produk-produk tersebut. Selain itu para ghost shopper juga dapat mengamati cara penanganan setiap keluhan. c. Lost customer analysis Perusahaan seyogyanya menghubungi para pelanggan yang telah berhenti membeli atau yang telah pindah pemasok agar dapat memahami mengapa hal itu terjadi. Bukan hanya exit interview saja yang perlu, tetapi pemantauan customer loss rate juga penting, peningkatan customer loss rate menunjukkan kegagalan perusahaan dalam memuaskan pelanggannya. d. Survai kepuasan pelanggan Umumnya penelitian mengenai kepuasan pelanggan dilakukan dengan penelitian survai, baik melalui pos, telepon, maupun wawancara langsung. Perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan balik secara langsung dari pelanggan dan juga memberikan tanda (signal) positif bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap para pelanggannya. 5. Elemen Kepuasan Pelanggan. Wilkie (1994) menyatakan bahwa terdapat 5 elemen dalam kepuasan pelanggan yaitu : a. Expectations Harapan konsumen terhadap suatu barang atau jasa telah dibentuk sebelum konsumen membeli barang atau jasa tersebut. Pada saat proses pembelian dilakukanan, konsumen berharap bahwa barang atau jasa yang mereka terima sesuai dengan harapan, keinginan dan keyakinan mereka. Barang atau jasa yang sesuai dengan harapan konsumen akan menyebabkan konsumen merasa puas. b. Performance Pengalaman konsumen terhadap kinerja aktual barang atau jasa ketika digunakan tanpa diperngaruhi oleh harapan mereka. Ketika kinerja actual barang atau jasa berhasil maka konsumen akan merasa puas. c. Comparison Hal ini dilakukan dengan membandingkan harapan kinerja barang atau jasa sebelum membeli dengan persepsi kinerja aktual barang atau jasa tersebut. Konsumen akan merasa puas ketika harapan sebelum pembelian sesuai atau melebihi persepsi mereka terhadap kinerja aktual produk. d. Confirmation/disconfirmation Harapan konsumen dipengaruhi oleh pengalaman mereka terhadap penggunaan merek dari barang atau jasa yang berbeda dari orang lain. Confirmation terjadi bila harapan sesuai dengan kinerja aktual produk. sebaliknya disconfirmation terjadi ketika harapan lebih tinggi atau lebih rendah dari kinerja aktual produk. konsumen akan merasa puas ketika tejadi confirmation/ discofirmation. 6. Macam-Macam atau Jenis Kepuasan Pelanggan. a. Kepuasan Fungsional, merupakan kepuasan yang diperoleh dari fungsi atau pemakaian suatu produk. Misal: karena makan membuat perut kita menjadi kenyang. b. Kepuasan Psikologikal, merupakan kepuasan yang diperoleh dari atribut yang bersifat tidak berwujud. Misal: Perasaan bangga karena mendapat pelayanan yang sangat istimewa dari sebuah rumah makan yang mewah. 7. Faktor Utama dalam Menentukan Tingkat Kepuasan Pelanggan. Lupiyadi (2001) menyebutkan lima faktor utama yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan kepuasan pelanggan, antara lain: Dalam menentukan tingkat kepuasan pelanggan, terdapat lima faktor utama yang harus diperhatikan oleh perusahaan yaitu : a. Kualitas produk Konsumen akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka menunjukkan bahwa produk yang mereka gunakan berkualitas. b. Kualitas pelayanan Terutama untuk industri jasa. Konsumen akan merasa puas bila mereka mendapatkan pelayanan yang baik atau yang sesuai dengan yang diharapkan. c. Emosional Konsumen akan merasa bangga dan mendapatkan keyakinan bahwa orang lain akan kagum terhadap dia bila menggunakan produk dengan merek tertentu yang cenderung mempunyai tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Kepuasan yang diperoleh bukan karena kualitas dari produk tetapi nilai sosial yang membuat konsumen menjadi puas terhadap merek tertentu. d. Harga Produk yang mempunyai kualitas yang sama tetapi menetapkan harga yang yang relatif murah akan memberikan nilai yang lebih tinggi kepada konsumennya. e. Biaya Konsumen yang tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan suatu produk atau jasa cenderung puas terhadap produk atau jasa itu. E. RETENSI PELANGGAN Retensi pelanggan merupakan pemeliharaan hubungan bisnis atau terjadinya ikatan batin yang berkelanjutan antara produsen dengan pelanggan dalam jangka waktu yang panjang. Menjaga tingkat retensi pelanggan sangatlah penting untuk pengembangan bisnis selanjutnya. Ada banyak alasan mengapa mempertahankan pelanggan lebih menguntungkan, meliputi : 1. Bisnis yang terpelihara 2. Biaya penjualan, biaya pemasaran dan baiay set up diamortasi selama masa hidup pelanggan yang lebih panjang. 3. Pengeluaran yang meningkat sejalan dengan waktu. 4. Repeat Customers (pelanggan ulang) seringkali memerlukan biaya lebih sedikit bagi jasa. 5. Pelanggan yang puas memberikan referrals. 6. Pelanggan yang puas mungkin bersedia membayar premium harga. (Payne ; 2001). Pada beberapa bisnis jasa tertentu alasan ini tidak berlaku, tetapi secara keseluruhan mereka mencerminkan peluang dengan peningkatan laba yang signifikan bagi kebanyakan perusahaan sektor jasa. Persoalan terpenting bagi perusahaan–perusahaan yang mungkin perlu kita ingat adalah bahwa seorang pelanggan yang mengalami ketidakpuasan terhadap sebuah penyedia jasa akan direbut oelh pesaingnya. Sehingga mempertahankan pelanggan merupakan persoalan strategis kunci yang harus diperhatikan bagi para perusahaan jasa. Retensi pelanggan membantu memperediksi profitabilitas perusahaan dengan demikian memberikan alat dan layanan pelanggan. Mempertahankan pelanggan memudahkan unutk mengembangkan hubungan dan mendorong untuk melakukan pembelian ulang atau menikmati jasanya lagi. Bain & Co menemukan bahwa ada keterkaitan antara kualitas, retensi klien dan profitabilitas. Para pelanggan yang terpuaskan akan kualitas jasa akan setia selalu pada perusahaan. Program–program retensi yang paling berhasil mensegmentasikan pelanggan dalam level–level profitabilitas yang berbeda-beda. Hal ini dapat membantu identifikasi jenis dan frekuensi kegiatan pemasaran harus diarahkan kepada mereka. Pelanggan yang paling menguntungkan adalah pelanggan yang paling berharga, dan kepada pelanggan inilah sebagian besar sumbedaya harus dicurahkan. Manfaat tambahan dari program retensi yang efektif adalah kepuasan karyawan. Hasil-hasil terkualifikasi dari mempertahankan pelanggan dapat bertindak sebagai motivator yang besar bagi staf dan meningkatkan kesediaan mereka dalam memberikan pelayanan yang terbaik. Pendekatan TQM (total Quality Management) bisa dipertimbangkan sebagai bagian penting dalam program retensi. F. Profitabilitas Pelanggan Analisis profitabilitas pelanggan menjadi penting bagi perusahaan agar perusahaan mengetahui kontribusi laba yang disumbangkan oleh setiap pelanggan dan bagaimana kinerja masing-masing pelanggan yang dimilikinya. Analisis profitabilitas pelanggan dianggap sebagai praktik pemasaran industri yang baik untuk membangun dan memelihara hubungan yang menguntungkan dengan pelanggan. Profitabilitas pelanggan mengukur seberapa besar keuntungan-keuntungan yang berhasil diraih oleh perusahaan dari penjualan produk atau jasa kepada para pelanggan, merupakan keuntungan jasa/produk dibagi total pendapatan neto jasa/produk dinyatakan dalam persen. Secara sederhana, analisis profitabilitas pelanggan dapat diartikan sebagai sebuah pendekatan manajemen biaya yang mengidentifikasi biaya dan manfaat melayani pelanggan individu atau kelompok pelanggan untuk meningkatkan profit perusahaan secara keseluruhan. Dalam pengukuran profitabilitas pelanggan diperlukan semacam alat yang dapat dijadikan alat ukur dalam perspektif pelanggan tersebut antara lain: 1. Product atau service Attributes (Jasa perusahaan) Meliputi fungsi dari produk atau jasa, harga, kualitas, dan waktu.Para pelanggan memiliki pilihan yang berbeda-beda atas produk yang ditawarkan. Ada yang mengutamakan fungsi dari produk, kualitas yang baik, harga yang murah, maupun waktu yang singkat, untuk itulah perusahaan harus mengidentifikasi apa yang diinginkan pelanggan atas produk yang ditawarkan 2. Costumer Relationship (Hubungan dengan nasabah) Menggambarkan faktor-faktor yang menarik dari seorang konsumen untuk berhubungan atau berkomunikasi dengan perusahaan secara langsung maupun tidak.Kenyamanan sangat mempengaruhi hal ini.Jadi, jikalau pelanggan sudah merasa nyaman diharapkan dapat terjadi hubungan yang baik antara perusahaan dengan pelanggan. 3. Image and Reputation ( Citra perusahaan) Menyangkut perasaan dari seorang nasabah atau pelanggan terhadap citra dari perusahaan.Membangun image dan reputasi yang tercipta dari profesionalitas dapat dilakukan guna menciptakan citra dari perusahaan yang baik. Analisis profitabilitas pelanggan memiliki manfaat yang memungkinkan manajer untuk: 1. mengidentifikasi pelanggan yang paling menguntungkan, 2. mengelola biaya pelayanan dari setiap pelanggan, 3. memperkenalkan produk atau jasa baru yang menguntungkan, 4. menghentikan pelanggan atau produk yang tidak menguntungkan, 5. mengarahkan bauran pembelian pelanggan pada lini produk dan jasa dengan margin yang tinggi, 6. menawarkan diskon dengan tujuan memperoleh volume penjualan yang lebih besar, dan memilih jenis pelayanan purna jual yang akan diberikan. Sebagian besar perusahaan menjalankan usaha dengan tujuan untuk memperoleh laba. Laba dapat dihitung dengan mengukur pendapatan yang diperoleh dan biaya yang dikorbankan. Laba keseluruhan yang diperoleh perusahaan merupakan gabungan dari laba setiap segmen. Pelaporan segmen merupakan pelaporan keuangan yang disusun berdasarkan segmen-segmen atau bagian-bagian yang ada dalam perusahaan (Hansen dan Mowen, 2009). Hansen dan Mowen mengatakan bahwa sebuah segmen adalah subunit dari suatu perusahaan yang cukup penting dalam pembuatan laporan kinerja. Segmen dapat berupa divisi, departemen, lini produk, kelompok pelanggan, dan lain-lain. Dalam melakukan analisis profitabilitas pelanggan dengan pelaporan segmen, manajemen dapat memperoleh informasi tentang kontribusi dan kinerja setiap pelanggan. Laporan segmen dapat dibuat menggunakan dua pendekatan, yaitu full costing dan variabel costing. Perbedaan yang paling menonjol dari kedua pendekatan ini adalah pada tampilannya. Pendekatan variabel costing membagi biaya tetap menjadi dua jenis, yaitu biaya tetap langsung (direct fixed costs) dan biaya tetap bersama (common fixed costs). Margin kontribusi dan margin segmen adalah dua komponen penting yang ada dalam penyusunan laporan segmen dengan pendekatan variabel costing. Margin kontribusi merupakan pendapatan penjualan dikurangi dengan total biaya variabel. Margin kontribusi mencerminkan seberapa besar kontribusi setiap pelanggan untuk menutup biaya tetap yang dikeluarkan perusahaan terutama untuk biaya tetap langsung. Margin segmen merupakan kontribusi laba yang dihasilkan setiap segmen yang mencerminkan kemampuan setiap segmen untuk menutup biaya tetap bersama dan memberikan keuntungan. Setiap segmen harus mampu paling tidak menutup biaya variabel dan biaya tetap langsungnya. Laba segmen yang negatif akan mengurangi total laba perusahaan secara keseluruhan. Rangkuman Kompetensi global yang semakin marak menuntut perusahaan untuk mampu dan menciptakan serta mempertahankan kepuasan dan loyalitas pelanggan. Suatu bisnis modern membutuhkan sistem penilaian kinerja yang komprehensif dan sistematis. Balanced Scorecard merupakan salahsatu pengukuran kinerja dengan penilaian empat perspektif. Dalam konsep kepuasan pelanggan sedikitnya ada empat katagori untuk pengukuran penilaiannya, yaitu : a. Pangsa pasar b. Kepuasan pelanggan c. Retensi pelanggan d. Profitabilitas pelanggan Sejauh ini implementasi program kepuasan pelanggan diyakini mempunyai sejumlah manfaat berupa retensi pelanggan yang semakin besar, nilai kumulatif dari relasi yang berkelanjutan, berkurangnya sensitivitas harga, komunikasi getok tular yang positif dan lain-lain. Elemen pokok kepuasan pelanggan antara lain harapan pelanggan, Pengalaman konsumen terhadap kinerja aktual barang atau jasa, membandingkan harapan kinerja barang atau jasa sebelum membeli dengan persepsi kinerja aktual barang atau jasa, juga pengalaman mereka terhadap penggunaan merek dari barang atau jasa yang berbeda dari orang lain. Faktor utama dalam penentuan pengukuran kepuasan pelanggan adalah kualitas produk/jasa, kualitas layanan, emosioanl pelanggan, harga dan biaya. Retensi pelanggan merupakan pemeliharaan hubungan bisnis atau terjadinya ikatan batin yang berkelanjutan antara produsen dengan pelanggan dalam jangka waktu yang panjang. Profitabilitas pelanggan mengukur seberapa besar keuntungan-keuntungan yang berhasil diraih oleh perusahaan dari penjualan produk atau jasa kepada para pelanggan, merupakan keuntungan jasa/produk dibagi total pendapatan neto jasa/produk dinyatakan dalam persen. Soal Latihan 1. Berikan penjelasan singkat akan kepuasan pelanggan. 2. Deskripsikan tentang retensi pelanggan! 3. Menurut pendapat anda, apa yang harus dilakukan jika terjadi pangsa pasar yang kecil dalam suatu perusahaan. 4. Jelaskan tentang program kepuasan pelanggan ! 5. Perlukah evaluasi purna jual dilakukan ? berikan alasannya ! 6. Jelaskan dengan singkat apa saja ukuran perspektif pelanggan ! 7. Sebutkan manfaat adanya analisis profitabilitas pelanggan. 8. Bagaimana keterkaitan antara kualitas, retensi klien dan profitabilitas. 9. Salahsatu faktor utama dalam menentukan pengukuran kepuasan pelanggan adalah emosional. Bagaimana proses ini terjadi ? 10. Jelaskan dengan singkat tentang kepuasan psikologikal ! 11. Strategi apa yang harus dilakukan perusahaan dalam mengejar pangsa pasar yang lebih tinggi. 12. Seorang pelanggan akan melakukan Willingness to Recommed. Mengapa hal itu bisa terjadi ? 13. Mengapa perusahaan merasa perlu untuk mempertahankan pelanggan? 14. Jelaskan tentang metode Ghost shopping! 15. Apakah dengan melakukan analisis profitabilitas pelanggan akan dapat menunjukkan kinerja secara keseluruhan ? Apendiks Contoh soal pengukuran kepuasan pelanggan (lebih tepat diterapkan pada pelayanan jasa) SP = sangat Puas P = Puas CP = Cukup Puas TP = Tidak Puas STP = Sangat Tidak Puas PERSPEKTIF KEPUASAN PELANGGAN a. Bukti Fisik (Tangibles) SP P CP TP STP 1. Formulir pendaftaran yang dibutuhkan tersedia dengan baik dan lengkap 2. Tempat Pelayanan pendaftaran yang bersih dan rapi 3. Tempat untuk menunggu antrian yang nyaman 4. Lahan parkir kendaraan tersedia dengan baik dan aman 5 Peralatan dan perlengkapan sudah modern 6 keamanan terjamin 7 Kebersihan selalu terjaga dan nyaman. b. Kepercayaan (Reliability) SP P CP TP STP 8 Para Petugas /karyawan memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan 9 Petugas administrasi membantu pengisian formulir dengan baik 10 Biodata pelanggan tersimpan dengan baik dan terjaga kerahasiannya 11 Petugas / karyawan tidak melakukan tindakan yang merugikan pelanggan c. Cepat Tanggap (Responsiveness) SP P CP TP STP 12 Petugas / karyawan segera memberikan tanggapan ketika diminta bantuan 13 Petugas /karyawan secara aktif memberikan informasi mengenai apa yang dibutuhkan 14 Proses penyampaian formulir cepat/tidak berbelit-belit 15 Menerima adanya keluhan-keluhan dan berusaha melakukan tindakan pelayanan segera untuk mempertahankan layanan yang baik 16 Petugas / karyawan segera tanggap dan menangani disaat mengalami kesulitan d. Kepastian (Assurance) SP P CP TP STP 17 Petugas / karyawan bersikap jujur dan profesional dalam bekerja. 18 Saya tidak ragu dengan pelayanan yang memprioritaskan kepentingan pelanggan 19 Petugas/karyawan menguasai pengetahuan dan ketrampilan di bidangnya dengan baik. 20 Kualitas pelayanan dirasakan bagus oleh konsumen e. Empati (Empathy) SP P CP TP STP 21 Petugas/ karyawan memberikan perhatian khusus pada permasalahan yang berkaitan dengan pelanggan 22 Petugas/ karyawan mudah dihubungi apabila ada kesulitan 23 Petugas/ karyawan berpenampilan rapi 24 Petugas/ karyawan bersikap ramah F Biaya SP P CP TP STP 25 Biaya / harga tidak memberatkan 26 Cara pembayaran singkat dan jelas 27 Kelonggaran waktu pembayaran tidak memberatkan 28 Informasi tentang biaya oleh Petugas/ karyawan tepat G Intensitas Layanan SP P CP TP STP 29 Mutu pelayanan lebih baik jika dibandingkan dengan tempat lain 30 Kualitas peralatan dilihat dari segi kebersihan 31 Kualitas peralatan dilihat dari segi kelengkapan 32 Informasi yang diberikan jelas Referensi Garpersz, V. 2006. Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi Balanced Scorecard dengan Six Sigma untuk Organisasi Bisnis dan Pemerintah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kotler, Philip. 2005. Manajamen Pemasaran, Jilid 1 dan 2. Jakarta: PT. Indeks Kelompok Gramedia. Rambat Lumpiyoadi, 2001, Manajemen Pemasaran Jasa: Teori dan Praktek, Edisi Pertama-Jakarta: Salemba Empat. Tjiptono, Fandy. 2014. Pemasaran Jasa.- Prinsip, Penerapan dan Penelitian. Andi Offset. Yogyakarta. Umar Husein. 2000. Studi Kelayakan Bisnis; Teknik Menganalisis Kelayakan Rencana Bisnis Secara Komperhensif:Gramedia Pustaka utama. Jakarta. Wilkie. WL. 1994. Customer Behavior. New york : John Willey & Sons. PERSPEKTIF PROSES BISNIS INTERNAL A. PENDAHULUAN Perspektif bisnis internal merupakan perspektif yang mengevaluasi relevansi perancangan sistem penilaian kinerja perusahaan yang mampu mengimplementasikan strategi perusahaan dan membentuk suatu mekanisme proses bisnis internal yang baik. Pihak manajemen akan mengidentifikasi proses internal bisnis yang kritis yang harus diunggulkan perusahaan. Sangat memungkinkan bagi para manajer untuk mengetahui seberapa baik bisnis mereka berjalan dan apakah produk dan atau jasa mereka sesuai dengan spesifikasi pelanggan. Perspektif ini harus didesain dengan hati-hati oleh mereka yang paling mengetahui misi perusahaan yang mungkin tidak dapat dilakukan oleh konsultan luar. Tahapan dalam proses bisnis internal meliputi proses inovasi, proses operasi dan proses penyampaian produk/jasa serta proses layanan purna jual. Bab ini akan lebih detail membahas tentang perspektif proses bisnis internal yaitu pengertian perspektif bisnis internal, menjelaskan proses inovasi, proses operasi dan proses pelayanan purna jual.. 1. Kompetensi Dasar Kompetensi materi mata ajar ini adalah pembaca diharapkan mampu memahami pengukuran kinerja dalam perspektif proses internal bisnis sehingga menjadi modal pengetahuan awal untuk mengenal Balanced Scorecard secara keseluruhan. 2. Indikator Indikator keberhasilan diukur dengan kriteria penilaian berdasarkan aspek-aspek atau konsep-konsep yang dinilai mulai dari tingket sempurna sampai tingkat terendah. Indikator penilaian dihitung dengan menggunakan rumus berikut : Arti tingkat penguasaan yang diperoleh : 85% – 100% = Sangat Baik 70% – 84% = Baik 55% – 69% = Cukup 0% – 54% = Kurang 3. Materi Pokok Materi pokok pada bab ini akan mambahas tentang pengertian perspektif bisnis internal, menjelaskan proses inovasi, proses operasi dan proses pelayanan purna jual. 4. Tujuan Setelah mempelajari materi ajar ini pembaca diharapkan : a. Mampu memberikan penjelasan tentang arti pengukuran perspektif bisnis internal; b. Mampu menjelaskan proses inovasi; c. Mampu menjelaskan proses operasi; d. Mampu menjelaskan pelayanan purna jual. B. UKURAN POKOK PERSPEKTIF BISNIS INTERNAL Perspektif bisnis internal merupakan proses untuk mendukung penciptaan dan penyampaian proposisi nilai yang bisa memuaskan segmen pasar sasaran dan mewujudkan tujuan finansial yang diharapkan, proses internal kritis harus disusun dan diperbaiki secara berkesinambungan. Hal ini menjadi fokus utama perspektif bisnis internal. Adapun proses yang kritis bagi penciptaan nilai pelanggan (Tjiptono: 2014) meliputi : a. Proses Customer Relationship Management (CRM) b. Manajemen rantai pasokan c. Proses inovasi d. Proses penyampaian jasa (Service Delivery) e. Proses layanan purna jual. Menurut Kaplan& Norton (2000), pencapaian proses proposisi nilai yang unik dan perbaikan produktivitas sebagaimana yang diharapkan diwujudkan melalui empat proses utama, yaitu : a. Membangun Franchise lewat inovasi produk dan jasa baru serta memasuki pasar baru dan segen pelanggan baru. b. Meningkatkan nilai pelanggan dengan jalan memperkokoh relasi dengan pelanggan saat ini. c. Mencapai keunggulan operasional dengan cara melakukan perbaikan berkesinambungan atas manajemen rantai pasokan. d. Berusaha menjadi good coprorate citizen dengan jalan membangun hubungan yang efektif dengan para stakeholder ekternal. Sementara itu, Day (1994,2000) menekankan pentingnya market sensing dan customer linking dalam mendukung pembentukan market-driven capabilities yang dibutuhkan untuk mewujudkan keunggulan kompetitif organisasi. Market sensing meliputi proses pengumpulan, penginterpretasian dan pemanfaatan informasi pasar. Kemampuan ini sangat dibutuhkan untuk memahami dinamika pasar dan merespon lebih secara proaktif dan komprehensif dibandingkan dengan para pesaing. Customer linking meliputi prosedur dan sistem yang digunakan perusahaan untuk mewujudkan hubungan kolaboratif dengan para pelanggan. Proses customer linking pada hakekatnya bersifat lintas fungsional, sulit ditiru pesaing dan dirancang khusus untuk memberikan solusi produk dan jasa yang diharapkan pelanggan sasaran. Menurut Hermawan (1996 :56) pengukuran kinerja aspek proses bisnis internal merupakan identifikasi perusahaan proses bisnis internal yang mempunyai nilai-nilai dan diinginkan konsumen. Hal ini dilakukan untuk mencari gambaran kinerja proses bisnis internal. Analisis proses bisnis internal, memungkinkan manager perusahaan untuk mengetahui seberapa baik bisnis mereka berjalan dan apakah produk dan atau jasa mereka sesuai dengan spesifikasi pelanggan. Ada perbedaan dalam perspektif bisnis internal antara pendekatan tradisional dan pendekatan Balanced Scorecard (Yuwono, 2007), antara lain: a. Pendekatan tradisional berusaha untuk mengawasi dan memperbaiki dalam peningkatan proses bisnis yang sudah ada sekarang. Sebaliknya, Balanced scorecard melakukan pendekatan atau berusaha untuk mengenali semua proses yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan strategi perusahaan. Walaupun proses tersebut sama sekali belum dilaksanakan. b. Dalam pendekatan tradisional sistem pengukuran kinerja hanya dipusatkan pada bagaimana cara menyampaikan barang atau jasa saja. Sedangkan dalam pendekatan Balanced Scorecard proses inovasi turut dimasukan dalam proses bisnis internal. Kaplan dan Norton membagi perspektif ini kedalam inovasi, operasi dan layanan purna jual. Ketiga hal tersebut merupakan pedoman dalam pengukuran kinerja di perspektif proses bisnis internal. Kaplan dan Norton (1996) membagi proses bisnis internal ke dalam tiga tahapan, yaitu: 1. Proses inovasi Dalam proses penciptaan nilai tambah bagi pelanggan, proses inovasi merupakan salah satu kritikal proses, dimana efisiensi dan efektifitas serta ketepatan waktu dari proses inovasi ini akan mendorong terjadinya efisiensi biaya pada proses penciptaan nilai tambah bagi pelanggan. Dalam proses ini, unit bisnis menggali pemahaman tentang kebutuhan dari pelanggan dan menciptakan produk dan jasa yang mereka butuhkan. Proses inovasi dalam perusahaan biasanya dilakukan oleh bagian marketing sehingga setiap keputusan pengeluaran suatu produk ke pasar telah memenuhi syarat-syarat pemasaran dan dapat dikomersialkan atau berdasarkan pada kebutuhan pasar. 2. Proses Operasi Proses operasi adalah proses untuk membuat dan menyampaikan produk/jasa. Aktivitas di dalam proses operasi terbagi ke dalam dua bagian: 1) proses pembuatan produk, dan 2) proses penyampaian produk kepada pelanggan. Pengukuran kinerja yang terkait dalam proses operasi dikelompokkan pada waktu, kualitas, dan biaya. 3. Proses Pelayanan Purna Jual Proses ini merupakan jasa pelayanan pada pelanggan setelah penjualan produk/jasa tersebut dilakukan. Aktivitas yang terjadi dalam tahapan ini, misalnya penanganan garansi dan perbaikan penanganan atas barang rusak dan yang dikembalikan serta pemrosesan pembayaran pelanggan. Perusahaan dapat mengukur apakah upayanya dalam pelayanan purna jual ini telah memenuhi harapan pelanggan, dengan menggunakan tolak ukur yang bersifat kualitas, biaya, dan waktu seperti yang dilakukan dalam proses operasi. Untuk siklus waktu, perusahaan dapat menggunakan pengukuran waktu dari saat keluhan pelanggan diterima hingga keluhan tersebut diselesaikan. Proses bisnis ini dapat digambarkan seperti di bawah ini : Gambar 4.1 Perspektif Proses Bisnis Internal-Model Rantai Nilai Generik proses inovasi proses operasi proses layanan purna jual Sumber : Robert S. Kaplan and Norton, The Balanced Scorecard; Translating Strategy Into Action, (1996). Menurut Robert N. Anthony dan Vijay Govindarajan (2004) pengukuran yang dapat dipakai dalam tahap ini adalah: “The following key related to business processes: a. Capacity tilization. Capacity utilization rates are specially important in businesses in which fixed cost are high. Similarly, in professional organization, the percentage of the total available professional hours that billed to clients-sold tie-is a measure of fixed asset utilization. b. On-time delivery c. Inventory turn over d. Quality. Indicator of quality include the number of defective units delivered by each supplier, number and frequency of late deliveries, number of parts in product, percentage of common versus unique parts in product, percentage yields, first pass yield, scrap, rework, machine breakdowns, number and frequency of time production and delivery schedules were not meet, number of employee suggestion, number of customer complain, level of customer satisfaction, warranty claims, field service expenses, number and frequency of product return and so on. e. Cycle time. This equation for cycle time is a tool used to analyze inventory requirements: Cycle time = processing time + storage time + movement time + inspection time” C. PROSES OPERASI DAN PENYAMPAIAN JASA Proses operasi adalah serangkaian metode dan teknologi yang dipakai dalam memproduksi barang atau jasa. Tipe produksi dapat diklasifikasikan berdasarkan perbedaan pada proses operasinya. Proses operasi untuk barang dibedakan menjadi dua, yaitu: Proses analitis adalah proses produksi di mana sumber daya diuraikan menjadi komponen untuk menciptakan produk jadi. -Proses sintetis adalah proses produksi di mana sumber daya dikombinasikan untuk menghasilkan barangjadi. Sedangkan proses operasi untuk jasa dibedakan berdasar tingkat kontak dengan pelanggan, dan terdiri dari dua klasifikasi yaitu: Sistem kontak tinggi, di mana pelanggan menjadi bagian dari sistem selama penyampaian jasa Sistem kontak rendah di mana pelanggan tidak harus menjadi bagian dari sistem dalam menerima jasa. Bagi perusahan yang bergerak dalam bidang jasa, operasi jasa dan penyampaian jasa merupakan program pemasaran jasa yang menitikberatkan pada unsur-unsur pembentukan jasa, sehingga sebelum jasa itu terbentuk secara utuh, maka elemen-elemen dari jasa harus dipersiapkan dalam operasi jasanya, kemudian disatukan menjadi jasa secara utuh dalam penyampaian jasa. Operasi dan penyampaian jasa merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam pembentukan suatu jasa. Heskett, et. al. (1997) mengemukakan bahwa sangat erat sekali hubungan antara sumber daya internal perusahaan yang menyangkut operasi jasa yang berdampak pada kemampuan pegawai, kepuasan pegawai, loyalitas pegawai, dan produktivitas pegawai dengan pasar sasaran eksternal yang merupakan tujuan pemasaran yang meliputi kepuasan konsumen, loyalitas konsumen, yang akhirnya mencapai pertumbuhan pendapatan dan keuntungan. Kekuatan internal perusahaan terutama yang mencakup proses internal dibentuk sebagai tujuan jangka panjang suatu organisasi, sebagaimana yang dikemukakan juga oleh Kuei (1999), bahwa ”internal service quality should be established as a long-term goal of the organization”. Lovelock, et. al. (2005) mengemukakan bahwa service operation strategy meliputi beberapa unsur, yaitu fasilitas fisik, peralatan, informasi dan teknologi, sumber daya manusia, yang kesemua unsur tersebut dapat meningkatkan kinerja pemasaran. Proses internal yang baik dari suatu perusahaan akan mempengaruhi pada kepuasan pegawainya, dan apabila para pegawai sudah merasa puas, maka mereka akan loyal pada perusahaan, sehingga akhirnya produktivitas kerja pegawai akan semakin baik, (Low, 1994). Proses internal yang baik akan membantu pegawai dan penyediaan peralatan fisik untuk melayani konsumen yang juga merupakan unsur-unsur dari tujuh unsur bauran pemasaran jasa yang meliputi produk, harga, lokasi, promosi, pegawai, prasarana fisik, dan proses (Haksever, et al., 2000). Lovelock, et. al. (2002) juga menyatakan bahwa service as a process and system, jasa tidak dapat dilepaskan dari suatu proses dan sistem. Jasa sebagai suatu proses mencakup empat pendekatan proses, yaitu pemrosesan orang, pemrosesan pemilikan, pemrosesan stimulan mental dan pemrosesan informasi. Proses ini merupakan bagian dari strategi penyampaian jasa, yaitu untuk menjawab pertanyaan “bagaimana jasa disampaikan”. Sedangkan jasa sebagai sistem adalah merupakan urutan produk jasa yang ditaw arkan kepada konsumen yang meliputi service operation system, service delivery system, dan service marketing system. Penyampaian jasa sebagaimana yang telah dijelaskan di atas merupakan salah satu unsur dari strategi jasa yang menitikberatkan pada dimana, kapan, dan bagaimana jasa itu disampaikan pada konsumen. Pembentukan suatu jasa secara utuh dihasilkan dari kinerja strategi penyampaian jasa tersebut. Sistem pengoperasian dan penyampaian jasa dibutuhkan agar agar operasi jasa dapat berlangsug dengan semestinya. Sistem ini harus dirancang sedemikian rupa agar nantinya menghasilkan bentuk jasa yang efektif bagi pelanggan. 1. Pasar sasaran. Salah satu aspek yang penting dalam rangka menyusun rancangan jasa adalah penetuan pasar sebagai sasaran yang ingin dilayani. Pasar dapat diartikan sebagai semua pelanggan potensal yang memiliki kebutuhan atau keinginan tertentu yang mungkin bersedia atau sanggup untuk melibatkan diri dalam proses pertukaran guna memuaskan kebutuhan atau keinginan tersebut. Dengan ditetapkannya pasar sasaran, maka perusahaan dapat lebih mudah menyeimbangkan keterampilan dan kapasitasnya dengan kebutuhan dan keinginan pelanggannya. Salah satu aspek yang penting dalam rangka menyusun rancangan jasa adalah penetuan pasar sebagai sasaran yang ingin dilayani. Pasar dapat diartikan sebagai semua pelanggan potensal yang memiliki kebutuhan atau keinginan tertentu yang mungkin bersedia atau sanggup untuk melibatkan diri dalam proses pertukaran guna memuaskan kebutuhan atau keinginan tersebut. Dengan ditetapkannya pasar sasaran, maka perusahaan dapat lebih mudah menyeimbangkan keterampilan dan kapasitasnya dengan kebutuhan dan keinginan pelanggannya. Pertama, sifat jasa maupun perilaku pelanggan tidak terlalu berbeda atau sulit untuk dibedakan. Kedua, permintaan atas jasa perusahaan cukup tinggi, sehingga pasar tidak memperdulikan bila ada perbedaan produk(jasa). Ketiga, kemampuan perusahaan memproduksi jasa relatif seragam atau kalau pun dibedakan, tidak akan memberikan manfaat yang berarti. Contoh jenis jasa yang banyak menerapkan pendekatan ini adalah Bank, bioskop, dan restoran fastfood, dimana jasa yang diberikan relatif tidak dibedakan. 2. Pendekatan segmentasi pasar. Pedagang segmentasi pasar beranggapan bahwa tidak semua pasar memiliki perilaku dan respon yang homogen. Dengan demikian perlu dilakukan pengelompokan pasar keseluruhan yang bersifat heterogen kedalam segmen-segmen tertentu dimana masing-masing segmen memiliki kesamaan perilaku dan respon. Perusahaan kemudian memilih satu atau beberapa segmen yang akan dijadikan pasar sasaran. Setiap segmen akan dilayanin dengan program pemasaran dan produk yang disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan segmen tersebut. Contoh jenis jasa yang banyak menerapkan segmentasi pasar adalah jasa transportasi Penerapan Balanced scorecard dalam perspektif bisnis internal pada studi kasus dalam rumah sakit berbeda dengan penerapan dalam perusahaan baik barang maupun jasa lainnya. Pada Proses operasi merupakan proses untuk membuat dan menyampaikan jasa. Dimana dalam proses operasi lebih ditekankan pada kegiatan operasional yang langsung berhubungan dengan pasien rumah sakit yaitu kegiatan penyampaian jasa kepada pasien. Berdasarkan Depkes RI (2005), beberapa indikator pengukuran pelayanan rumah sakit untuk mengetahui tingkat efektifitas dan efisiensi adalah sebagai berikut: 1. BOR (Bed Occupancy Ratio atau Penggunaan Tempat Tidur) Merupakan angka yang menunjukkan prosentase penggunaan tempat tidur yang tersedia pada satu periode waktu tertentu. Standar ideal nilai BOR anatara 60-85 %. Apabila lebih dari 85% maka pelayanan yang diberikan kurang efektif, hal tersebut dapat disebabkan antara lain: a. Beban kerja tinggi b. Ruang kerja terbatas sedangkan penggunaan tempat tidur berlangsung secara terus-menerus. c. Meningkatnya kualitas pasien memperoleh perawatan yang layak dibutuhkan. d. Memperpanjangkan masa penyembuhan pasien. 2. BTO (Bed Turn Over Rate atau Perputaran Tempat Tidur) Merupakan frekuensi pemakaian tempat tidur pada satu periode tertentu, berapa kali tempat tidur dipakai dalam satu satuan waktu tertentu. Idealnya dalam satu tahun, satu tempat tidur rata-rata dipakai 40-50 kali 3. GDR (Gross Death Rate) Merupakan angka kematian umum untuk setiap 1000 penderita keluar. Nilai GDR tidak dapat lebih dari 45 per 1000 pasien keluar. 4. NDR (Net Death Rate) Merupakan angka kematian 48 jam setelah dirawat untuk tiap-tiap 1000 penderita keluar. Indikator ini memberikan mutu pelayanan di rumah sakit. Nilai NDR yang masih dapat ditolerir adalah kurang dari 25 per 1000 pasien keluar. 5. ALOS (Average Length of Stay) Merupakan rata-rata lama rawat seorang pasien atau jumlah hari kalender dimana pasien mendapatkan perawatan rawat inap di rumah sakit, sejak tercatat sebagai pasien rawat inap hingga keluar dari rumah sakit. Indikator ini disamping memberikan gambaran tingkat efisiensi, juga dapat memberikan mutu pelayanan. Secara umum nilai ALOS yang ideal antara 6 sampai dengan 9 hari. 6. TOI (Turn Over Interval) Merupakan rata-rata hari yang menunjukkan tempat tidur tidak ditempati pasien dari telah diisi ke saat terisi berikutnya. Indikator ini memberikan gambaran tingkat efisiensi penggunaan tempat tidur. Idealnya tempat tidur kosong tidak terisi pada kisaran 1-3 hari. D. LAYANAN PURNA JUAL Menurut Hindle dan Thomas dalam Fandy Tjiptono (2008) Layanan purna jual adalah suatu layanan yang disediakan oleh produsen kepada konsumen setelah konsumen tersebut membeli produk dari perusahaan tersebut. Menurut Wibisono (2006), pelayanan purna jual merupakan salah satu variabel penting dalam meningkatkan daya saing perusahaan yang harus diperhatikan guna merancang strategi bisnis perusahaan untuk memenangkan persaingan, di samping keunggulan pada harga atau biaya, kualitas, pengiriman, fleksibilitas, dan desain produk atau jasa. Dalam jangka panjang, rancangan pelayanan purna jual membutuhkan pengembangan strategi, analisis kebutuhan pelanggan, dan analisis terhadap program dan posisi pesaing dalam memberikan layanan purna jual. Sudarsono dan Edilius (2010) mendefinisikan pelayanan purna jual atau after sale service sebagai jasa pelayanan yang meliputi perbaikan, penyediaan suku cadang, dan lain-lain yang diberikan oleh perusahaan kepada konsumen setelah produknya dibeli untuk jangka waktu tertentu. Pemberian pelayanan purna jual biasanya dilakukan sebagai suatu bentuk tanggung jawab yang diberikan oleh penjual atas barang yang telah mereka jual. Pelayanan ini diberikan dalam bentuk pemberian garansi, penggantian barang-barang rusak, pemeliharaan dan penyediaan suku cadang. Menurut Tjiptono (2009) terdapat beberapa altematif strategi yang dapat dilakukan perusahaan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya ketidakpastian adalah dengan penyediaan pelayanan purna jual yaitu pemberian garansi untuk mengurangi persepsi konsumen terhadap risiko pembelian, jasa reparasi, dan penyediaan suku cadang pengganti. Menurut Kotler (2009) pelayanan adalah setiap tindakan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud atau tidak rnengakibatkan kepemilikan apapun. Layanan purna jual adalah berbagai macam layanan yang disediakan produsen atau perusahaan setelah produk dibeli oleh konsumen. Para perusahaan akan selalu berusaha memberikan atribut produk yang terbaik pada produk mereka, layanan puma jual yang diberikan oleh produsen juga memegang peranan yang cukup penting dalam mendukung kesuksesan produk di pasar yang telah ditetapkan. Engel dan Miniard (2009) menjelaskan bahwa pelayanan dan kepuasan sesudah transaksi merupakan salah satu alasan mengapa konsumen tertarik untuk memilih suatu produk atau dengan kata lain, pelayanan purna jual menjadi daya tarik dari suatu produk dan layanan purna jual mempunyai sumbangan penting terhadap keberhasilan produk dalam bersaing di pasar. Tjiptono (2009) menjelaskan pada dasarnya ada tiga kunci manfaat dari memberikan layanan purna jual kepada pelanggan: a. Kemampuan memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan. b. Pengembangan data base yang lebih akurat dari pesaing (mencakup data kebutuhan dan keinginan setiap segmen pelanggan dan perubahan kondisi persaingan). c. Pemanfaatan informasi-informasi yang diperoleh dari riset pasar dalam suatu kerangka strategik. J enis-J enis Pelayanan Purna J ual Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 7229:2007 jenis-jenis pelayanan purna jual adalah sebagai berikut : 1. Pelayanan purna jual pasca garansi Jaminan perawatan (service) berkala, perbaikan, penggantian dan ketersediaan komponen dari barang yang bersangkutan, ketersediaan teknologi, tenaga teknis yang kompeten serta bengkel perawatan dan perbaikan yang disediakan dengan biaya dibebankan kepada konsumen. 2. Pelayanan purna jual selama masa garansi 3. Jaminan pemeriksaan, perbaikan dan/atau penggantian bila barang atau komponennya tidak berfungsi dengan biaya ditanggung oleh prinsipal, selama barang digunakan/dioperasikan secara benar sesuai dengan prosedur penggunaan yang ditetapkan Menurut Wibisono (2006), bentuk- bentuk layanan purna jual yang disediakan adalah: 1. Pemberian garansi, merupakan jaminan keamanan operasi produk pada waktu tertentu di saat pemakaian normal. 2. Jasa pelayanan untuk mengantarkan barang untuk sampai ke tujuan, gunanya untuk memberikan rasa aman bagipelanggan bahwa produk yang mereka beli akan selamat sampai di tujuan. 3. Penyediaan jasa reparasi, berupa penyediaan barang, tenaga teknisi untuk perawatan dan perbaikan, penyediaan suku cadang yang asli dan berkualitas,serta bengkel yang memadai. 4. Petunjuk pemakaian produk, serta adanya buku pedoman pemakaian produk agar pelanggan dapat mengoperasikan produk dengan baik dan menghindari kesalahan yang tidak perlu dalam pemakaian produk. 5. Adanya perhatian yang serius dariperusahaan terhadap keluhan yang dirasakan pelanggan. Unsur Pelayanan Penjualan diantaranya adalah : a. Penampilan. b. Tepat waktu & janji. c. Kesediaan melayani. d. Pengetahuan dan keahlian. e. Kesopanan & ramah tamah. f. Kejujuran dan kepercayaan. g. Kepastian hukum. h. Keterbukaan. i. Efisien. j. Biaya. k. Tidak rasial. l. Kesederhanaan. Prinsip Prinsip Pelayanan Penjualan yaitu : 1. Attitude Dalam menjalankan konsep pelayanan prima kepada para pelanggan, sikap atau attitude merupakan poin yang utama. Sikap yang ramah dan sabar dalam melakukan pelayanan kepada konsumen, baik itu pelanggan kelas atas maupun pelanggan kecil harus diterapkan dengan seimbang. Untuk menciptakan kesan attitude yang baik di mata konsumen, maka para pegawai yang berinteraksi langsung dengan konsumen wajib menggunakan bahasa sopan, cekatan dalam menangani keluhan, dan menjadikan pelanggan sebagai seorang raja. 2. Attention Attention atau perhatian adalah tindakan untuk memperhatikan keinginan pelanggan serta fokus dalam menciptakan kepuasan konsumen. Atensi tersebut dapat diwujudkan dengan berbagai cara, misalnya mencermati karakter konsumen yang datang, memahami kepentingan dan kebutuhan pelanggan, serta mampu memberikan nasihat kepada pelanggan jika diperlukan. 3. Action Setelah Anda memulai pelayanan ke konsumen dengan attitude yang bagus, dan kemudian memperhatikan segala hal yang menjadi keinginan konsumen (attention), maka langkah berikutnya adalah segera melakukan tindakan (action) guna mewujudkan apa yang diharapkan oleh konsumen. Action yang dilakukan hendaknya memenuhi prinsip cepat, tepat, hemat dan selamat. Misalnya dalam usaha jasa reparasi komputer, pelanggan yang datang tentu berharap agar komputer yang ingin diperbaiki bisa segera cepat selesai dengan diagnosa masalah yang tepat, biaya yang hemat serta direparasi dengan selamat. 4. Anticipation Sebagai back up terakhir dari usaha melakukan pelayanan prima kepada para konsumen adalah menyiapkan solusi dari segala kemungkinan yang terjadi dalam bisnis anda. Hal tersebut dikenal dengan istilah antisipasi bisnis. Antisipasi yang perlu dipersiapkan dalam pelayanan prima tentu yang menyangkut dengan kepentingan konsumen. Misalnya dalam jasa laundry pakaian, pelanggan akan diberikan uang pengganti atau pakaian sejenis ketika hasil cucian terjadi kecacatan atau robek. Untuk itulah diperlukan antisipasi yang berupa dana antisipasi atau lainnya demi menjamin kepuasan dan loyalitas para pelanggan. Layanan purna jual dimaksudkan untuk menjaga minat konsumen atau calon konsumen dan memperluas sikap positif dari keunggulan produk yang telah dijanjikan. Tujuan Pelayanan Penjualan yaitu : 1. Menumbuhkan kepuasan, kekaguman, rekomendasi dan di atas semuanya pembelian ulang. 2. Menciptakan kepercayaan, keyakinan diri, dan reputasi. 3. Mengungkapkan garansi dengan persyaratan termasuk penjelasan tentang suku cadang (bila ada) secara terbuka. Strategi J asa Purna J ual ( After Sales Service ) Menurut Arman Hakim Nasution, Indung Sudarsono dan Lantip Trisunarno dalam bukunya Manajemen Pemasaran untuk Engeneering (2006:124) mengungkapkan bahwa, keinginan konsumen bukan hanya pelayanan sebelum dan saat pembelian saja, tetapi sudah meningkat hingga mencapai pelayanan setelah pembelian. Untuk barang-barang industrial good dan barang- barang manufactur seperti otomotif , elektrik sangatlah mutlak dibutuhkan, bahkan bersaing untuk memberikan layanan yang terbaik pada konsumen. Jaminan atau garansi merupakan tawaran menarik bagi konsumen. Dalam hubungan dengan hal itu, kepada konsumen perlu dijelaskan sejauh mana garansi yang diberikan, antara lain : 1. Waktu / masa garansi. 2. Kisaran garansi, apakah termasuk suku cadang dan nama suku cadang tertentu yang di ganti cuma-cuma atau hanya jasa perbaikan saja yang diberikan cuma- cuma. 3. Batasan penyebab kerusakan secara teknik. 4. Prosedur administrasi garansi. 5. Kesediaan tenaga teknisi profesional dan peralatannya. 6. Tempat pengaduan atau pelayanan. Fandy Tjiptono dan Gregorius Chandra dalam bukunya Service, Quality, Satisfaction (2011) mengemukakan bahwa : Supaya sebuah program garansi jasa bisa efektif, ada sejumlah kriteria yang perlu dipenuhi diantaranya : a. Realistis dan ditanyakan secara spesifik, misalnya garansi berlaku untuk jangka waktu 1 tahun atau seumur hidup. b. Sederhana, komunikatif, dan mudah dipahami. Untuk itu diperlukan standar kinerja yang jelas misalnya “dalam waktu kurang dari 15 jam, paket anda akan sempai ke tujuan”. c. Mudah diperoleh atau diterima pelanggan, artinya tidak membebani pelanggan dengan berbagai macam restriksi, pembatasan, kondisi, dan persyaratan birikrasi yang berlebihan. d. Terpercaya (credible), baik reputasi perusahaan yang memberikan maupun tipe garansinya itu sendiri. Misalnya garansi yang berbunyi “kami jamin berat badan anda akan susut 30kg dalam 1 minggu. Bila tidak, uang kembali” cendrung sulit dipercaya. Bermakna dan signifikan (meaningful), artinya memberikan jaminan atas elemen jasa yang penting bagi pelanggan dan menawarkan kompensasi yang sebanding dengan ketidakpuasan pelanggan (seperti biaya dan tenaga yang telah dikeluarkan). Menurut Fandy Tjiptono dan Gregorius Chandra dalam bukunya Service, Quality, Satisfaction (2011). Garansi ini dapat diberikan dalam dua bentuk, yaitu : 1. Garansi internal, yaitu janji atau jaminan yang di buat oleh departemen atau divisi tertentu kepada pelanggan internalnya, yakni pemroses lebih lanjut dan setiap orang dalam perusahaan yang sama yang memanfaatkan jasa atau hasil kerja departemen tersebut. Garansi ini di dasarkan pada komitmen untuk memberikan layanan terbaik, tepat waktu, akurat, jujur, dan bersungguh- sungguh. Contoh garansi internal adalah jaminan dari divisi transportasi untuk mengantarkan atau mengambil barang secara tepat waktu bagi divisi lainnya, jaminan dari divisi teknik pada sebuah distributor komputer untuk menyelesaikan reparasi komputer dengan baik dan cepat kepada divisi lainnya, dll. 2. Garansi eksternal, yaitu jaminan yang di buat oleh perusahaan kepada para pelanggan eksternalnya, yakni mereka yang membeli dan menggunakan produk atau jasa perusahaan. Garansi ini menyangkut keunggulan pelayanan dan keadaan produk / jasa. Dalam hal ini perusahaan harus benar-benar berusaha menepatinya, apabila tidak di tepati malah akan menjadi boomerang. Contoh garansi ini adalah janji bahwa peserta program menurunkan berat badan yang belum berhasil menurunkan berat badannya sebesar 5kg dalam 2 minggu pertama bakal mendapatkan kembali uang yang telah dibayarkannya ; janji bahwa jika pizza yang diantar ternyata sudah tidak hangat lagi ketika sampai di tangan pelanggan, pelanggan tesebut pelanggan tersebut tidak perlu membayar sepeserpun ; dll. Menurut Fandy Tjiptono dalam bukunya Persfektif Manajemen dan pemasaran Konterporer (2000). Beberapa alternatif strategi yang dapat dilakukan perusahaan untuk menekan disonansi purnabeli, mengurangi kemungkinan terjadinya ketidakpuasan, dan merespon komplain pelanggan, antara lain : 1. Membentuk harapan konsumen yang realistis Kepuasan pelanggan ditentukan oleh gap antara apa yang diharapkan konsumen akan diperolehnya dan apa yang benar-benar mereka dapatkan. Oleh sebab itu, klaim mengenai kualitas dan manfaat produk harus didasarkan pada karakteristik nyata produk. Beberapa perusahaan bahkan membuat klaim yang sedikit lebih rendah dari kondisi sengguhnya, dengan maksud untuk memberikan ‘surprise’ kepada pelanggan. Meskipun agak berisiko (dipersepsikan kurang berkualitas sewaktu pelanggan mengevaluasi alternatif merek), dalam praktik ini cukup efektif (carig-less, 1998). Konsumen merasa puas karena memperoleh sesuatu yang lebih dari apa yang semula mereka harapkan / antisipasi. Sebaliknya apabila klaim dibuat secara berlebihan, maka harapan pelangganpun menjadi lebih tidak realistis dan akibatnya perusahaan tidak akan sanggup memenuhinya. Disamping itu, konsumen tidak bodoh dan menelan mentah-mentah setiap pernyataan produsen tentang keunggulan dan manfaat produk mereka. Dalam era informasi ini, konsumen dapat membandingkan berbagai merek dan alternatif produk sebelum menentukan pilihan. 2. Memantau kualitas produk/jasa secara terus menerus. Bagaimanpun juga kualitas produk harus benar-benar memuaskan. Untuk itu, pendekatan modern seperti TQM (Total Quality Management) banyak diadopsi. Berdasarkan pendekatan ini, perusahaan selalu berupaya mnyempurnakan produk, jasa, sumber daya manusia, proses, dan lingkungan dalam rangka menyediakan produk tanpa cacat kepada setiap konsumen. 3. Mengadopsi dan menerapkan konsep Green Marketing atau Environmental Marketing Seiring dengan dengan meningkatnya kesadaran akan pelestarian lingkungan, perusahaan harus bersifat proaktif dalam meresponnya. Berdasarkan konsep green/environmental marketing, perusahaan wajib mengimplementasikan konsep 3R dalam waste management, yakni “Reducing, Reusing, and Recycling” (Kotler, et al., 1998). Strategi ini meliputi konservasi sumber daya alam yang langka; penggunaan material hasil daur ulang, material yang dapat di daur ulang, maupun material yang biodegradable dalam produksi dan pengemasan produk ; perubahan desain produk untuk mengurangi polusi udara dan air akibat pemakaian produk ; dan adaptasi produk pemanufakturan untuk meminimumkan polusi udara dan air ( Sheth, et al., 1999 ). 4. Memberikan informasi yang jelas dan akurat kepada para pelanggan Banyak produk yang sifatnya kompleks atau sukar digunakan. Akibatnya, besar kemungkinan pelanggan keliru menggunakan produk tersebut dan merasa tidak puas. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, perusahaan wajib memberikan informasi yang jelas dan akurat mengenai beberapa aspek, seperti kandungan / isi, petunjuk penggunaan, situasi penggunaan, efek samping, orang atau institusi yang harus dihubungi bila ada masalah. 5. Mengkonfirmasi pilihan yang telah dibuat pelanggan Disonansi purnabeli yang dirasakan konsumen dapat di tekan dengan cara mengkonfirmasi atau ‘menguatkan’ bahwa pilihan mereka sudah tepat dan memberikan jaminan ulang (reassuarance) kepada mereka. Cara yang paling efektif adalah lewat iklan yang menegaskan konsumen bahwa produk/jasa yang mereka beli merupakan pilihan terbaik. Iklan seperti itu biasanya menggunakan pemakai produk yang puas sebagai model. Alternatif serupa dapat dilakukan dengan cara mengirim ucapan selamat dan terima kasih kepada para konsumen yang baru saja membeli produk. Cara lainnya adalah menyediakan layanan purna jual dan garansi untuk mengurangi persepsi konsumen terhadap resiko pembelian. Contohnya, pelatihan menginstalasi atau menggunakan produk, konsultasi teknis, peluang menukar produk yang tidak memuaskan, reparasi, penyediaan suku cadang pengganti, pembentukan klub pemakai produk. Selain itu, perusahaan juga dapat mendistribusikan kuesioner purnabeli atau melakukan survey semacam ini, konsumen dapat menyampaikan berbagai masalah dan keluhan yang dirasakan, sehingga perusahaan dapat melakukan berbagai penyesuaian dan tindak lanjut untuk mengurangi disonansi pelanggan. 6. Memberikan garansi kepuasan yang realistis Garansi berfungsi untuk mengurangi resiko pelanggan sebelum maupun sesudah pembelian barang / jasa, sekaligus mencerminkan komitmen perusahaan untuk memberikan yang terbaik guna mewujudkan kepuasan dan loyalitas pelanggan (Tjiptono, 1998). Garansi yang baik memiliki beberapa karakteristik : a. Realistis dan jangka waktu serta persyaratannya dinyatakan secara spesifik b. Menggunakan bahasa yang sederhana, komunikatif, dan mudah dipahami c. Mudah diperoleh atau diterima pelanggan d. Tidak membebani pelanggan dengan berbagai macam persyaratan yang berlebihan e. Kredibel, baik reputasi perusahaan memberikan suatu tanggapan maupun tipe garansinya itu sendiri. f. Berfokus pada kebutuhan pelanggan dan benar-benar signifikan. g. Memberikan standar kerja yang jelas (misalnya “Buku yang anda pesan akan sampai ditempat anda dalam waktu kurang dari 24 jam”) 7. Memberikan penghargaan (reward ) kepada pelanggan yang loyal Kerapkali pelanggan yang puas tergoda untuk mencoba merek pesaing, terutama bila diiming-imingi diskon dan insentif lainnya. Oleh sebab itu, relasi harus dijalin erat dengan pelanggan yang loyal. Komunikasi tindak lanjut pada tahap purnabeli juga penting. Misalnya, menggunakan iklan yang menekan bahwa perusahaan menaruh perhatian besar pada mereka dan bahwa mereka sangat berarti bagi perusahaan. Selain itu, program loyalitas khusus (special deals) juga dapat memperkuat kesetiaan pelanggan dan mendorong pembelian ulang. 8. Merancang dan menerapkan sistem penanganan komplain yang efektif Perusahaan harus memiliki sistem penanganan komplain yang efektif. Sistem penanganan komplain yang efektif membutuhkan beberapa aspek (Tjiptono, 1998) seperti : a. Permohonan maaf kepada pelanggan atas ketidaknyamanan yang mereka alami b. Empati terhadap pelanggan yang marah c. Kecepatan dalam penanganan keluhan d. Kewajaran atau keadilan dalam memecahkan permasalahan atau keluhan e. Kemudahan bagi konsumen untuk menghubungi perusahaan. Dalam penanganan keluhan menurut Fandy Tjiptono (2005) dalam bukunya Prinsip-Prinsip Total Quality Service, paling tidak ada empat aspek penanganan keluhan yang penting, yaitu : 1. Empati terhadap pelanggan yang marah. Dalam menghadapi pelanggan yang emosi atau marah, perusahaan harus bersifat empati, karena bila tidak akan bertambah runyam. Untuk itu perlu diluangkan waktu untuk mendengarkan keluhan mereka dan berusaha memahami situasi yang dirasakan oleh pelanggan tersebut. Dengan demikian permasalahan yang dihadapi dapat menjadi jelas sehingga pemecahan yang diharapkan dapat di upayakan bersama. 2. Kecepatan dalam penangan keluhan Kecepatan merupakan hal yang sangat penting dalam penangan keluhan. Apabila keluhan pelanggan tidak segera di tanggapi, maka rasa tidak puas terhadap perusahaan akan semakin permanen dan tidak dapat diubah lagi. Sedangkan apabila keluhan dapat di tangani dengan cepat, maka ada kemungkinan pelanggan tersebut menjadi puas. Apabila pelanggan puas dengan cara penanganan keluhannya, maka kemungkinan besar mereka akan menjadi pelanggan perusahaan kembali. 3. Kewajaran atau keadilan dalam memecahkan permasalahan atau keluhan. Perusahaan harus memperhatikan aspek kewajaran dalam hal biaya dan kinerja jangka panjang. Hasil yang diharapkan tentunya adalah situasi ‘win- win’ dimana perusahaan dan pelanggan sama-sama saling diuntungkan. 4. Kemudahan bagi konsumen untuk menghubungi perusahaan Hal ini sangat penting bagi konsumen untuk menyampaikan komentar, saran, kritik, pertanyaan, maupun keluhannnya. Disini sangat dibutuhkan adanya metode komunikasi yang mudah dan relatif tidak mahal, dimana pelanggan dapat menyampaikan keluh kesahnya. Bila perlu dan memungkinkan, perusahaan dapat menyediakan jalur atau saluran tepon khusus (hot line service) untuk menampung keluhan pelanggan atau manfaatkan e-mail di jaringan internet (dengan membuka site atau homepage di World Wide Web) Rangkuman Perspektif bisnis internal merupakan proses untuk mendukung penciptaan dan penyampaian proposisi nilai yang bisa memuaskan segmen pasar sasaran dan mewujudkan tujuan finansial yang diharapkan, proses internal kritis harus disusun dan diperbaiki secara berkesinambungan. Hal ini menjadi fokus utama perspektif bisnis internal. Adapun proses yang kritis bagi penciptaan nilai pelanggan meliputi : a. Proses Customer Relationship Management (CRM) b. Manajemen rantai pasokan c. Proses inovasi d. Proses penyampaian jasa (Service Delivery) e. Proses layanan purna jual. Proses Operasi dan penyampaian jasa merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam pembentukan suatu jasa. Sangat erat sekali hubungan antara sumber daya internal perusahaan yang menyangkut operasi jasa yang berdampak pada kemampuan pegawai, kepuasan pegawai, loyalitas pegawai, dan produktivitas pegawai dengan pasar sasaran eksternal yang merupakan tujuan pemasaran yang meliputi kepuasan konsumen, loyalitas konsumen, yang akhirnya mencapai pertumbuhan pendapatan dan keuntungan. Layanan purna jual adalah berbagai macam layanan yang disediakan produsen atau perusahaan setelah produk dibeli oleh konsumen. Para perusahaan akan selalu berusaha memberikan atribut produk yang terbaik pada, layanan puma jual juga memegang peranan penting dalam mendukung kesuksesan produk di pasar. Soal Latihan 1. Sebutkan proses apasaja yang dilakukan untuk penciptaan nilai pelanggan! 2. Jasa pelayanan untuk mengantarkan barang untuk sampai ke tujuan, gunanya untuk memberikan rasa aman bagipelanggan bahwa produk yang mereka beli akan selamat sampai di tujuan. Bagaimana pendapat anda tentang hal tersebut. 3. Sejauhmana garansi yang akan diberikan kepada konsumen ? 4. Jelaskan tentang pelayanan purna jual pasca garansi ! 5. Dalam tahapan proses bisnis internal ada tahapan proses inovasi. Jelaskan proses tersebut ! 6. Setelah Anda memulai pelayanan ke konsumen dengan attitude yang bagus, dan kemudian memperhatikan segala hal yang menjadi keinginan konsumen (attention), maka langkah berikutnya adalah segera melakukan tindakan (action). Apa yang dimaksud dengan action ini, berikan contohnya! 7. Sebutkan dan jelaskan proses operasi untuk jasa. 8. Alternatif strategi yang dilakukan yaitu Mengadopsi dan menerapkan konsep Green Marketing atau Environmental Marketing. Berilah penjelasannya ! 9. Jelaskan pengertian layanan purna jual ! 10. Sebutkan dan jelaskan bentuk layanan purna jual ! 11. Kriteria apasaja yang harus diberikan Supaya sebuah program garansi jasa bisa efektif. 12. Merancang dan menerapkan sistem penanganan komplain yang efektif, aspek-aspek apasaja yang termasuk dalam sisten tersebut ! Refernsi Antony, Robert N and Vijay Govindarajan, 1996. Management Control Systems, 8 th Edition, Irvin. Departemen Kesehatan R.I. 2005. Rencana Strategi Departemen Keshatan. Jakarta: Depkes RI Engel, B. dan Miniard. 2009. Perilaku Konsumen. Jilid 2. Terjemahan FX. Budiyanto. Gramedia. Jakarta. Hermawan, Anccela. 1996. Balanced Scorecard Sebagai Sarana Akuntansi Manajemen Strategik. Jakarta: IAI. Heskett, J. L., Sasser, W. E., Jr & Schlesinger, L. A. 1997. The Service Profit Change. New York: Free Press. Kaplan, Robert S and David P Norton. 1996. Balanced Scorecard :Menerapkan Strategi Menjadi Aksi. Erlangga: Jakarta Kotler, Philip. 2003. Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation, and Control (Millenium edition). Engelwood Cliffs: Prentice Hall International, Inc. A Division of Simon dan Scuster. Kuei, Chu-Hua. 1999. Internal Service Quality and Empirical Assessment. International Journal of Quality and Relibality Management, 16(8): 783-791 Lovelock, Christopher & Lauren, Wright. 2002. Principles of Service Marketing and Management. USA: Prince-Hall International Edition. Sudarsono dan Edilius. 2010. Manajemen Koperasi Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta. Tjiptono, Fandy. 1997. Prinsip- prinsip Total Quality Service. Andi Offset. Jogyakarta. Tjiptono, Fandy. 2000. Perspektif Manajemen & Pemasaran Kontemporer. Andi Offset. Jogyakarta. Tjiptono, Fandy. 2011. Service, Quality & Satisfactios. Andi Offset. Jogyakarta. Tjiptono, Fandy. 2014. Pemasaran Jasa – prinsip, penerapan dan penelitian. Andi Offset. Jogyakarta. Yuwono et al. 2007. Petunjuk penyusunan Balanced scorecard menuju organisasi yang berfokus pada strategi. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama. PERSPEKTIF PEMBELAJARAN DAN PERTUMBUHAN A. PENDAHULUAN Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan ini mengindentifikasi infrastruktur yang harus dibangun perusahaan untuk membentuk pertumbuhan dan perkembangan perusahaan di jangka panjang. Sasaran strategic dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan adalah human Capital, system and prosedure. Ada beberapa kesenjangan yang besar antara kemampuan orang, system, dan prosedur yang ada saat ini dengan yang dibutuhkan untuk mencapai kinerja yang diinginkan. Inilah mengapa, perusahaan harus melakukan investasi di ketiga faktor tersebut untuk mendorong perusahaan menjadi sebuah organisasi pembelajar (learning organization). Perspektif ini memiliki tiga pengukuran yaitu kepuasan kerja, retensi kerja dan produktivitas kerja. Bab ini akan lebih detail membahas tentang perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. ukuran pokok perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, kepuasan kerja, retensi kerja dan produktivitas kerja. 1. Kompetensi Dasar Kompetensi materi mata ajar ini adalah pembaca diharapkan mampu memahami pengetahuan tentang pengukuran kinerja dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan sebagai modal pengetahuan awal untuk mengenal balanced scorecard secara keseluruhan. 2. Indikator Indikator keberhasilan diukur dengan kriteria penilaian berdasarkan aspek-aspek atau konsep-konsep yang dinilai mulai dari tingkat sempurna sampai tingkat terendah. Indikator penilaian dihitung dengan menggunakan rumus berikut : Arti tingkat penguasaan yang diperoleh : 85% – 100% = Sangat Baik 70% – 84% = Baik 55% – 69% = Cukup 0% – 54% = Kurang b. Materi Pokok Materi pokok pada bab ini akan mambahas tentang ukuran pokok perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, kepuasan kerja, retensi kerja dan produktivitas kerja. c. Tujuan Setelah mempelajari materi ajar ini pembaca diharapkan : a. Mampu memberikan penjelasan tentang ukuran pokok perspektif pembelajaran dan pertumbuhan; b. Mampu menjelaskan kepuasan kerja; c. Mampu menjelaskan retensi kerja; d. Mampu menjelaskan produktivitas kerja; B. UKURAN POKOK PERSPEKTIF PEMBELAJARAN DAN PERTUMBUHAN Pada perspektif pertumbuhan dan pembelajaran meliputi sumber daya manusia, aktivitas operasional organisasi, sistem dan prosedur organisasi. Faktor karyawan merupakan salah satu hal terpenting dalam kegiatan unit bisnis untuk mendukung keberhasilan suatu organisasi. Tolak ukur dalam perspektif ini adalah employee capabilities, information system capabilities, motivation, empowerment and aligment (kaplan dan norton, 1996, imelda 2004) 1. Employee capability, peran pegawai dalam organisasi dapat membuat suatu perubahan yang dramatis yaitu bagaimana para pegawai menyumbangkan segenap kemampuan bagi organisasi. 2. Information system capabilities dengan kemampuan sistem informasi yang memadai, kebutuhan seluruh tingkatan manajemen dan pegawai atas informasi yang akurat dan tepat waktu dapat dipenuhi dengan baik. 3. Motivation, empowerment and aligment, perspektif ini penting untuk menjamin adanya proses yang berkesinambungan terhadap upaya pemberian motivasi dan inisiatif sebesar-besarnya kepada pegawai. Menurut Kaplan dan Norton (1996), ketiga tolak ukur tersebut dapat diukur dengan ukuran inti sebagai berikut : 1. Kepuasan pekerja, merupakan hal yang penting bagi organisasi. Pekerja yang puas merupakan kondisi awal untik menambah produktivitas, daya tanggap, kualitas, dan layanan pelanggan. 2. Retensi pekerja, untuk memepertahankan selama mungkin pekerja yang diminati organisasi. 3. Produktivitas kerja, merupakan suatu ukuran hasil dari dampak meningkatkan ketrampilan dan moral pekerja, inovasi, meningkatkan proses internal, dan kepuasan pelanggan. Tujuan-tujuan dalam perspektif pertumbuhan dan pembelajaran merupakan pengendalian untuk mencapai keunggulan outcome ketiga perspektif finansial, pelanggan, dan proses bisnis internal. Terdapat tiga kategori penting dalam perspektif pertumbuhan dan pembelajaran, yaitu: kompetensi karyawan, insfastruktur teknologi, dan kultur perusahaan (Vincent Gaspersz. 2005) Dalam perspektif ini, ada faktor-faktor penting yang harus diperhatikan yaitu: 1. Kapabilitas pekerja Dalam hal ini manajemen dituntut untuk memperbaiki pemikiran pegawai terhadap organisasi, yaitu bagaimana para pegawai menyumbangkan segenap kemampuannya untuk organisasi. Untuk itu perencanaan dan upaya implementasi reskilling pegawai yang menjamin kecerdasan dan kreativitasnya dapat dimobilisasi untuk mencapai tujuan organisasi. 2. Kapabilitas system informasi Dalam ekonomi kita yang modern, modal informasi berfungsi sebagai bahan baku, mengendalikan transformasi dari data menjadi informasi dan mendorong pertumbuhan perusahaan individu serta industri secara keseluruhan. Melihat begitu besarnya pengaruh teknologi, tentu setiap organisasi harus mempertimbangkan objektif modal informasi pada saat membentuk perspektif pembelajaran dan pertumbuhan pekerjaannya. Menurut pengalaman Paul R. Niven saat bekerja dengan berbagai macam organisasi, objek ini biasanya mirip dengan “Memperbaiki infrastruktur teknologi”, “Teknologi pengukit”,“ Meningkatkan manajemen pengetahuan dan penyebaran informasi”, Mengumpulkan, membagikan, dan menggunakan informasi secara efektif”. Contoh pertama berkaitan dengan komponen infrastruktur modal informasi, yang memastikan adna memiliki alat-alat fisik seperti komputer yang diperlukan untuk menghantarkan informasi kepada para penggunanya. Contoh lainnya berpusat pada kebutuhan untuk mengumpulkan informasi yang tersimpan, membagikannya secara luas, dan membuat para pekerja memanfaatkannya dalam kegiatan mereka sehari-hari. Semua organisasi memiliki hasrat yang sama untuk menggerakan informasi menjadi tindakan dan harus mengenali bahwa mengakses informasi itu memiliki dimensi manusiawi dan teknologi (Paul R. Niven.2005). Dengan kemampuan sistem informasi yang memadai, kebutuhan seluruh tingkatan manajemen dan pegawai atas informasi yang akurat dan tepat waktu dapat dipenuhi dengan sebaik- baiknya. 3. Motivasi, pemberdayaan, dan kesadaran. Perspektif ini penting untuk menjamin adanya proses yang berkesinambungan terhadap upaya pemberian motivasi dan inisiatif yang sebesar-besarnya bagi pegawai. Paradigma manajemen terbaru menjelaskan bahwa proses pembelajaran sangat penting bagi pegawai untuk melakukan trial and error sehingga turbulensi lingkungan sama- sama dicoba-kenali tidak saja oleh jenjang manajemen strategis tetapi juga oleh segenap pegawai di dalam organisasi sesuai kompetensinya masing- masing. Upaya tersebut perlu didukung dengan motivasi yang besar dan pemberdayaan pegawai berupa delegasi wewenang yang memadai untuk mengambil keputusan. Selain itu, upaya tersebut juga harus diimbangi dengan upaya penyesuaian yang terus menerus sejalan dengan tujuan organisasi. C. KEPUASAN KERJA 1. Pengertian Kepuasan Kerja Setiap orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Apabila kebutuhan orang tersebut terpenuhi berarti pekerjaan yang digeluti dapat memberikan rasa kepuasan. Namun sebaliknya jika kebutuhan tidak terpenuhi dengan baik, maka orang tersebut merasakan pekerjaannya tidak memberikan rasa kepuasan. Robbins (2011) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai sikap umum individu pada pekerjaannya, selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima seorang pekerja dengan banyaknya yang pekerja yakini seharusnya diterima. Menurut Rivai (2006), faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan pada dasarnya secara praktis dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: faktor intrinsik dan faktor ektrinsik. Faktor intrinsik ialah faktor yang berasal dari diri karyawan dan dibawa oleh setiap karyawan sejak mulai bekerja ditempat pekerjaannya. Faktor ekstrinsik ialah menyangkut hal-hal yang berasal dari luar diri karyawan, antara lain kondisi fisik, lingkungan kerja, interaksi dengan karyawan lain, sistem penggajian, dan lain sebagainya. Kepuasan kerja adalah sikap umum seorang pegawai terhadap pekerjaannya selisih antara banyak ganjaran yang diterima seorang pegawai dan banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka terima (Robbins 1996). Menurut Locke (Luthans, 1995), kepuasan kerja adalah suatu keadaan emosi yang menyenangkan atau positif sebagai akibat dari pengalaman atau penilaian kerja seseorang. Lebih lanjut dikatakan kepuasan kerja dari persepsi tentang bagaimana baiknya pekerjaan memberikan sesuatu yang berarti. 2. Teori Kepuasan Kerja Menurut Wexley dan Yulk (1977) dalam bukunya yang berjudul Organisational behaviour And Personnel Psychology yang dikutip oleh Moch. As’ad (2004), ada dasarnya teori-teori tentang kepuasan kerja yang lazim dikenal ada tiga macam yaitu: 1. Discrepancy theory, 2. Equity theory, 3. Two factor teory. Berikut ini penjelasan dari teori-teori kepuasan kerja tersebut diatas : a. Discrepancy theory Discrepancy theory yang dipelopori oleh Porter menjelaskan bahwa kepuasan kerja seseorang diukur dengan menghitung selisih apa yang seharusnya diinginkan dengan kenyataan yang dirasakan. Kemudian Locke dalam Moch. As’ad (2004:105) menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang tergantung pada perbedaan antara apa yang diinginkan dengan apa yang menurut persepsinya telah diperoleh melalui pekerjaannya. Orang akan puas apabila tidak ada perbedaan antara yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan, karena batas minimum yang diinginkan maka orang akan menjadi lebih puas lagi walaupun terdapat “discrepancy”, tetapi merupakan discrepancy positif. Sebaliknya, semakin jauh dari kenyataan yang dirasakan itu dibawah standar minimum sehingga menjadi negatif discrepancy, maka makin besar pula ketidakpuasan terhadap pekerjaannya. b. Equity theory Equity theory dikembangkan oleh Adams (1963). Adapun pendahulu dari teori ini adalah Zaleznik (1958) dikutip dari Locke (1969). Dalam equity theory, kepuasan kerja seseorang tergantung apakah ia merasakan keadilan atau tidak atas situasi. Perasaan keadilan atau ketidakadilan atas suatu situasi diperoleh dengan membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun di tempat lain. Menurut teori ini, elemen-elemen dari equity ada tiga yaitu : input, out comes, comparation person (Wexley dan Yulk, 1977) dalam bukunya Moch. As’ad (2004). Yang dimaksud dengan input adalah sesuatu yang berharga yang dirasakan pegawai/ karyawan sebagai sumbangan terhadap pekerjaannya, seperti pendidikan, pengalaman kerja, dan kecakapan. Out comes adalah sesuatu yang berharga yang dirasakan pegawai/ karyawan sebagai hasil dari pekerjaannya, seperti gaji, status, symbol, dan penghargaan. Comparation person adalah dengan membandingkan input, out comes terhadap orang lain. Bila perbandingan itu tidak seimbang tetapi menguntungkan bisa menimbulkan kepuasan, tetapi bisa pula tidak. Akan tetapi bila perbandingan itu tidak seimbang dan merugikan, akan menimbulkan ketidakpuasan. (Moch. As’ad 2004). Kelemahan dari teori ini adalah kenyataan bahwa kepuasan kerja seseorang juga ditentukan oleh individual differences (misalnya pada waktu orang melamar kerja apabila ditanya tentang besarnya upah/ gaji yang diinginkan). Selain itu, tidak liniernya hubungan antara besarnya kompensasi dengan tingkat kepuasan lebih banyak bertentangan dengan kenyataan (Locke,1969) yang dikutip oleh Moch. As’ad (2004). c. Two factor teory Menurut two factor theory, kepuasan kerja itu merupakan dua hal yang berbeda, artinya kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu tidak merupakan suatu variable kontinyu. Herzberg dalam Moch. As’ad (2004) membagi situasi yang mempengaruhi perasaan seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok yaitu kelompok satisfiers atau motivator yang terdiri dari prestasi pengakuan, tanggungjawab. Dan yang kedua yaitu kelompok sebagai sumber ketidakpuasan atau dissatisfiers yang terdiri dari prosedur kerja, upah atau gaji, hubungan antar karyawan/ pegawai. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Sebagian besar orang berpendapat bahwa gaji atau upah merupakan faktor utama untuk dapat menimbulkan kepuasan kerja. Sampai taraf tertentu,hal ini memang bisa diterima, terutama dalam negara yang sedang berkembang, dimana uang merupakan kebutuhan yang sangat vital untuk bisa memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Akan tetapi kalau masyarakat sudah bisa memenuhi kebutuhan keluarganya secara wajar, maka gaji atau upah ini tidak menjadi faktor utama. Sesuai dengan tingkatan motivasi manusia yang dikemukakan oleh Maslow, maka upah atau gaji merupakan kebutuhan dasar. Sedangkan menurut pendapat Gilmer (1966) dalam Moch. As’ad (2004) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu: “1. Kesempatan untuk maju, 2. Keamanan kerja, 3. Gaji, 4. Manajemen kerja, 5. Kondisi kerja, 6. Pengawasan (supervisi), 7. Faktor intrinsik dari pekerjaan, 8. Komunikasi, 9. Aspek sosial, 10. Fasilitas”. Berikut ini penjelasan dari faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja tersebut diatas : 1. Kesempatan untuk maju. Dalam hal ini ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh kesempatan peningkatan pengalaman dan kemampuan kerja selama bekerja. 2. Keamanan kerja. Faktor ini sering disebut sebagai penunjang kepuasan kerja, baik karyawan pria maupun wanita. Keadaan yang aman sangat mempengarugi perasaan kerja karyawan selama bekerja. 3. Gaji. Gaji lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang orang yang mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang di perolehnya. 4. Manajemen kerja. Manajemen kerja yang baik adalah yang memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil, sehingga karyawan dapat bekerja dengan nyaman. 5. Kondisi kerja. Dalam hal ini adalah tempat kerja, ventilasi, penyinaran, kantin, dan tempat parkir. 6. Pengawasan (Supervisi). Bagi Karyawan, Supervisor dianggap sebagai figur ayah dan sekaligus atasannya. Supervisi yang buruk dapat berakibat absensi dan turn tover. 7. Faktor intrinsik dari pekerjaan. Atribut yang ada pada pekerjaan mensyaratkan ketrampilan tertentu. Sukar dan mudahnya serta kebanggaan akan tugas akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan. 8. Komunikasi. Komunikasi yang lancar antara karyawan dengan pimpinan banyak dipakai untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini adanya kesediaan pihak pimpinan untuk mau mendengar, memahami dan mengakui pendapat atau prestasi karyawannya sangat berperan dalam menimbukan kepuasan kerja. 9. Aspek sosial dalam pekerjaan. Merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi dipandang sebagai faktor yang menunjang puas atau tidak puas dalam kerja. 10. Fasilitas. Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas. D. RETENSI PEKERJA 1. Pengertian retensi pekerja. Retensi karyawan merupakan perhatian SDM yang berkelanjutan dan tanggung jawab signifikan bagi semua supervisor dan manajer. Istilah retensi terkait dengan istilah perputaran (turnover) yang berarti proses dimana karyawan meninggalkan organisasi dan harus digantikan (Mathis dan Jackson, 2008). Menurut Susilo (2013), retensi karyawan juga merupakan keinginan karyawan untuk bertahan pada perusahaan dalam jangka waktu yang lama. Karyawan harus diperhatikan dan dipelihara dengan sungguh-sungguh oleh manajer, jika tidak maka semangat kerja, loyalitas, sikap dan disiplin karyawan akan menurun. Namun tidak semua karyawan akan keluar dari perusahaan, setidaknya masih banyak karyawan yang tetap bertahan bekerja pada perusahaan (retensi). Retensi adalah elemen penting dari pendekatan organisasi untuk manajemen bakat yang lebih umum, didefinisikan sebagai “pelaksanaan strategi terintegrasi atau sistem yang dirancang untuk meningkatkan produktivitas kerja dengan mengembangkan proses-proses untuk menarik, mengembangkan, mempertahankan, dan memanfaatkan orang-orang dengan keterampilan dan bakat yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan bisnis saat ini dan masa depan” (Lockwood, 2006). Untuk melihat retensi karyawan suatu organisasi berkaitan dengan data turnover karyawan. Turnover (pemberhentian) menurut (Robbins, 2003) didefinisikan sebagai penarikan diri secara sukarela (voluntary) atau tidak sukarela (unvoluntary) yang merupakan keputusan karyawan untuk meninggalkan organisasi yang disebabkan oleh dua faktor yaitu kurang menariknya pekerjaan saat ini dan tersedianya alternatif pekerjaan lain. Sumber daya manusia yang kurang mendapat perhatian dan pemeliharaan perusahaan akan menimbulkan keresahan, turunnya semangat dan kegairahan kerja, merosotnya loyalitas dan prestasi yang bersangkutan. Dengan menurunnya semangat dan kegairahan kerja maka akan mengakibatkan tingginya tingkat kemangkiran karyawan yang amat merugikan perusahaan sendiri. Kondisi yang lebih parah dengan tidak dipeliharanya sumber daya manusia adalah meningkatnya turn over (Sedarmayanti, 2011). Pemeliharaan adalah usaha mempertahankan dan atau meningkatkan kondisi fisik, mental dan sikap karyawan, agar mereka tetap loyal dan bekerja produktif untuk menunjang tercapainya tujuan perusahaan (Hasibuan, 2007). Lebih lanjut dikatakan bahwa tujuan pemeliharaan menurut Hasibuan (2007), yaitu untuk meningkatkan produktivitas kerja karyawan, meningkatkan disiplin dan menurunkan absensi karyawan, meningkatkan loyalitas dan menurunkan turnover karyawan, memberikan ketenangan, keamanan dan kesehatan karyawan, meningkatkan kesejahteraan karyawan dan keluarganya, memperbaiki kondisi fisik, mental dan sikap karyawan, mengurangi konflik serta menciptakan suasana yang harmonis, mengefektifkan pengadaan karyawan. 2. Faktor-Faktor Penentu Retensi Karyawan Menurut Mathis dan Jackson (2009), survei terhadap karyawan terus menerus menunjukkan bahwa peluang karir dan penghargaan merupakan dua faktor penentu retensi karyawan yang paling penting. Terakhir, rancangan tugas atau faktor kerja serta hubungan karyawan yang adil dan suportif dengan orang lain dalam organisasi tersebut memberi kontribusi untuk retensi karyawan. Lebih lanjut dijelaskan oleh Mathis dan Jackson (2008) mengenai faktor-faktor penentu retensi karyawan, yaitu : 1. Komponen Organisasional 2. Rancangan Tugas atau Pekerjaan 3. Penghargaan 4. Peluang Karir 5. Hubungan Karyawan 3. Proses Manajemen Retensi Karyawan Bagi profesional SDM dan organisasi sangat penting mempunyai proses yang digunakan untuk mengatur retensi karyawan. Apabila dibiarkan begitu saja atau kurang diperhatikan maka retensi karyawan kemungkinan besar tidak berhasil. Berikut ini adalah proses manajemen retensi karyawan menurut Mathis dan Jackson (2008): a. Pengukuran dan Penilaian Retensi Karyawan, Untuk memastikan bahwa tindakan yang tepat diambil untuk meningkatkan retensi karyawan dan mengurangi perputaran, keputusan manajemen lebih membutuhkan data dan analisis daripada kesan subjektif. Oleh karena itu, adalah penting untuk mempunyai beberapa jenis ukuran dan analisis yang berbeda. b. Mengukur perputaran, dimana angka perputaran untuk sebuah organisasi dapat dihitung dengan cara yang berbeda. Rumus yang biasa digunakan untuk mengukur perputaran, yaitu persentase dari membandingkan antara jumlah karyawan yang berhenti selama satu periode dengan jumlah total karyawan di pertengahan periode tersebut. Data perputaran karyawan dapat dikumpulkan dan dianalisis dengan melihat pekerjaan dan tingkat jabatan, unit kerja, alasan keluar, lamanya kerja, pendidikan dan pelatihan serta penilaian kinerja. c. Memperkirakan biaya perputaran dengan mempertimbangkan biaya perekrutan, biaya pelatihan, biaya produktivitas dan biaya pemberhentian. d. Survei karyawan dapat digunakan untuk mendiagnosa bidang masalah tertentu. Jenis survei yang digunakan oleh banyak organisasi adalah survei sikap yang berfokus pada perasaan dan keyakinan para karyawan tentang pekerjaannya dan organisasi. Survei karyawan berfungsi sebagai cara untuk mendapatkan data tentang cara para karyawan memandang pekerjaan, supervisor mereka, rekan kerja serta kebijakan dan praktik organisasional, survei ini dapat menjadi awal mula untuk mengurangi perputaran dan meningkatkan retensi karyawan untuk periode waktu yang lebih lama. e. Wawancara keluar kerja, di mana individu diminta untuk menyebutkan alasan mereka meninggalkan organisasi. f. Intervensi Retensi Karyawan, untuk memperbaiki retensi karyawan dan mengendalikan perputaran. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah pada saat perekrutan maka pekerjaan yang akan diberikan harus diuraikan secara realistis sehingga kenyataan pekerjaan sesuai dengan harapan-harapan karyawan baru. Cara lainnya yaitu meningkatkan proses seleksi agar dapat menyesuaikan para pelamar dengan pekerjaan secara lebih baik. Faktor lain yang juga penting adalah kompensasi karena sistem gaji yang kompetitif, adil dan pantas dapat membantu mengurangi perputaran karyawan. Menurut Pohan (2010), terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan suatu perusahaan dalam rangka meretensi karyawan, yaitu: a. Memperlakukan karyawan seperti memperlakukan pelanggan yang paling bernilai. b. Membuat karyawan jatuh cinta kepada perusahaan. c. Melakukan program rekruitmen yang baik. d. Menempatkan karyawan pada posisi yang tepat dan mengenali karyawan yang ada serta memberikan motivasi. e. Perusahaan tidak menjadikan uang sebagai satu-satunya alasan karyawan untuk tetap bertahan. Walaupun uang menjadi faktor penting namun terdapat berbagai cara lain seperti memberikan pekerjaan yang menantang, lingkungan kerja yang terbuka dan jujur, waktu kerja yang fleksibel serta penghargaan diri. f. Membentuk komite karyawan untuk membantu pengembangan strategi retensi karyawan. g. Evaluasi dan Tindak Lanjut Setelah usaha intervensi retensi karyawan diimplementasikan maka penting untuk melakukan evaluasi atas usaha tersebut serta tindak lanjut dan penyesuaian yang tepat. Usaha evaluasi dapat dilakukan dengan meninjau kembali data perputaran karyawan dan menelusuri hasil interview. E. PRODUKTIVITAS KERJA. 1. Pengertian Produktivitas Kerja. Produktivitas merupakan salah satu alat ukur bagi perusahaan dalam menilai prestasi kerja yang dicapai karyawannya. Produktivitas adalah sebuah konsep yang menggambarkan hubungan antara modal,tanah, energy yang dipakai untuk menghasilkan hasil tersebut. (Basu Swasta, 2002). Produktivitas menurut dewan produktivitas nasional adalah sikap mental yang selalu berpandangan bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan esok hari harus lebih baik dari hari ini (Umar, 2000). Produktivitas adalah bagaimana menghasilkan atau meningkatkan hasil barang dan jasa setinggi mungkin dengan memanfaatkan sumber daya manusia secara efisien. Oleh karena itu produktivitas sering diartikan sebagai rasio antara keluaran dan masukan dalam satuan tertentu (Sedarmayanti, 2001). Produktivitas merupakan perbandingan antara keluaran dan masukan serta mengutamaakan cara pemanfaatkan baik terhadap sumber-sumber dalam memproduksi suatu barang atau jasa (Hasibuan, 2007). Produktivitas tenaga kerja dapat digambarkan dengan rumusan sebagai berikut : Dimana : Output = Jumlah produksi Input= Jumlah karyawan Seorang karyawan dinilai produktif apabila menghasilkan output yang lebih besar dari karyawan lainnya untuk satuan waktu yang sama. Dan dapat juga dikatakan bahwa karryawan menunjukkan tingkat produktivitas yang ditentukan dalam satuan waktu yang lebih singkat. 2. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Pentingnya usaha peningkatan produktivitas bagi perusahaan sudah menjadi hal yang mendasar. Untuk itu perlu sekali mengetahui dah memahami faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhinya. Karena tanpa mengetahui dan memahami faktor-faktor tersebut akan mempersulit perusahaan dalam membuat suatu pereancanaan strategis yang nantinya akan digunakan untuk perbaikan dalam uoaya meningkatkan efektivitas dan efesiensi perusahaan. Menurut Balai Pengembangan Produktivitsa Kerja Daerah ada enam faktor yang menentukan produktivitas tenaga kerja a. Sikap kerja Seperti: kesediaan untuk bekerja secara bergiliran (Shiff work), dapat menerima tambahan tugas dan bekerja sama dalam satu tim b. Tingkat ketrampilan yang ditentukan oleh pendidikan, latihan dalam manajemen supervisor serta ketrampilan dalam teknik industrial. c. Hubungan antara tenaga kerja dan pimpinan organisasi yang tercerminkan dalam usaha bersama antara pimpinan organisasi dan tenaga kerja untuk meningkatkan produktivitas melalui lingkaran pengawasan mutu (Quality control circles) dan panitia mengenai kerja unggul. d. Manajemen produktivitas yaitu : manajemen yang efesien mengenai sumber dan system kerja untuk mencapai peningkatan produktivitas. e. Efesiensi tenaga kerja, seperti : perencanaan tenaga kerja dan tambahan tugas. f. Kewiraswastaan yang tercermin dalam pengambilan resiko, kreatifitas dalam berusaha dan berada dalam jalur yang benar dalam berusaha (Sedarmayanti, 2001) Ada beberapa faktor yang mempengaruhi produktivitas karyawan yaitu : 1. Pendidikan dan pelatihan 2. Gizi dan kesehatan 3. Motivasi 4. Kesempatan kerja 5. Kesempatan berprestasi 6. Kebijaksanaan pemerintah 7. Ketrampilan karyawan itu sendiri 8. Teknologi 9. Lingkungan dan iklim kerjaan 10. Sikap dan etika kerja 11. Disiplin 12. Tingkat kompensasi (Nitisemito, 2000) Turun naiknya tingkat volume produktivitas karyawan juga di pengaruhi oleh beberapa faktor (Nitisemito, 2000) 1. Lingkungan kerja 2. Proses seleksi 3. Pengawasan kerja 4. Kepemimpinan 5. Kompensasi 6. Disiplin kerja 3. Cara-cara Meningkatkan Produktivitas Terdapat lima cara untuk meningkatkan produktvitas yaitu sebagai berikut : 1. Menerapkan program reduksi biaya Reduksi biaya berarti dala menghasikan output dengan kuantitas yang sama kita menggunakan input dalam jumlah yang lebih sedikit. Jadi peningkatan produktivitas melalui program reduksi biaya berarti output yang tetap dibagi dengan input yang lebih sedikit. 2. Mengelola petumbuhan Peningkatan produktivitas dengan cara mengelola pertumbuhan berarti kita meningkatkan output dalam kualitas yang lebih besar melalui peningkatan penggunaan input daalam kuantitas yang lebih kecil. Artinya output meningkat lebih banyak, sedangkan input meningkat lebih sedikit. 3. Bekerja lebih tangkas Bekerja lebih tangkas akan dapat meningkatkan produktivitas. Jadi produktivitas meningkat tetapi jumlah input tetap sehingga akan diperoleh biaya produksi per unit output yang rendah. 4. Mengurangi aktivitas Melalui pengurangan sedikit output dan mengurangi banyak input yang tidak perlu akan dapat meningkatkan produktivitas. 5. Bekerja lebih efektif Peningkatan produktivitas dengan cara meningkatkan output, tapi tidak mengurangi penggunaan input (Nasution, 2001) Produktvitas kerja yang tinggi atau cendrung meningkat penting bagi perusahaan, karena dengan meningkatnya produktivitas kerja karyawan, maka efesiensi dan efektivitas perusahaan akan meningkat. Rangkuman Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan merupakan perspektif yang menilai ukuran kinerja suatu perusahaan yang dapat mengarahkan untuk melakukan suatu perubahan dalam perusahaan agar dapat berkembang dan menciptakan masa depan. Tujuan-tujuan dalam perspektif pertumbuhan dan pembelajaran merupakan pengendalian untuk mencapai keunggulan outcome ketiga perspektif finansial, pelanggan, dan proses bisnis internal. Perspektif ini memiliki tiga pengukuran yaitu kepuasan kerja, retensi kerja dan produktivitas kerja Retensi karyawan merupakan keinginan karyawan untuk bertahan pada perusahaan dalam jangka waktu yang lama. Karyawan harus diperhatikan dan dipelihara dengan sungguh-sungguh oleh manajer, jika tidak maka semangat kerja, loyalitas, sikap dan disiplin karyawan akan menurun. Namun tidak semua karyawan akan keluar dari perusahaan, setidaknya masih banyak karyawan yang tetap bertahan bekerja pada perusahaan (retensi). Seorang karyawan dinilai produktif apabila menghasilkan output yang lebih besar dari karyawan lainnya untuk satuan waktu yang sama. Dan dapat juga dikatakan bahwa karryawan menunjukkan tingkat produktivitas yang ditentukan dalam satuan waktu yang lebih singkat. Soal Latihan 1. Salahsatu elemen dari equity theory adalah Comparation person. Jelaskan maksudnya ! 2. Bagaimana jika produktivitas kerja seseorangmenurun. Apa yang harus dilakukan pimpinan ! 3. Bagaimanakah cara mengukur retensi karyawan ! 4. Faktor apa saja yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan ? 5. Dalam two factor theory terdapat satisfiers dan dissatisfiers. Sebutkan apa saja yang termasuk dalam satisfiers ? 6. Apa yang dimaksud dengan produktivitas kerja ? 7. Faktor-faktor apa saja sebagai penentu retensi kerja ! 8. Apasaja yang menyebabkan Turun naiknya tingkat volume produktivitas karyawan. Jelaskan dengan singkat ! 9. kepuasan kerja seseorang tergantung pada perbedaan antara apa yang diinginkan dengan apa yang menurut persepsinya telah diperoleh melalui pekerjaannya. Bagaimana pendapat saudara tentang hal tersebut ! 10. Berikut ini merupakan salahsatu cara untuk meretensi karyawan : “Membentuk komite karyawan untuk membantu pengembangan strategi retensi karyawan”. Berikan penjelasan saudara ! APENDIKS. Contoh soal pengukuran kepuasan karyawan (lebih tepat diterapkan pada pelayanan jasa) SP = sangat Puas P = Puas CP = Cukup Puas TP = Tidak Puas STP = Sangat Tidak Puas a. Motivasi (Rewards and Punishment) SS S CS TS STS 1. Gaji yang diterima sesuai dengan harapan pegawai. 2. Pemberian insentif dan tunjangan-tunjangan lain sesuai dengan kebutuhan pegawai. 3. Penegakan kode etik telah dilaksanakan dengan baik. 4. Sistem absensi berjalan baik dalam meningkatkan disiplin 5. Pegawai termotivasi untuk selalu memikirkan hal-hal baru dalam bekerja. 6. Dilakukan penyegaran (refreshing) secara bersama-sama berupa rekreasi untuk mengurangi kejenuhan dalam bekerja. b. Kesempatan Pengembangan Diri SS S CS TS STS 7 Terbuka kesempatan bagi setiap pegawai untuk belajar dan melanjutkan pendidikan. 8 Adanya dorongan kepada pegawai untuk terus belajar dan mengembangkan potensi. 9 Terdapat diklat-diklat pegawai dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. 10 Kesungguhan dalam bekerja sangat berpengaruh pada peningkatan karir pegawai. 11 Promosi jabatan berjalan baik sesuai ketentuan, sehingga menimbulkan motivasi untuk bekerja lebih profesional. c. Kepemimpinan SS S CS TS STS 12 Pimpinan memberikan motivasi kepada bawahan. 13 Pimpinan memberikan apresiasi terhadap pemikiran-pemikiran baru yang positif. 14 Pimpinan memberikan pengarahan akan tugas yang diberikan kepada pegawai 15 Pimpinan memberikan kesempatan pada pegawai untuk mengutarakan pendapatnya 16 Pimpinan memberikan teguran jika pegawai melakukan kesalahan dalam bekerja 17 Pimpinan memberikan apresiasi terhadap profesionalisme dalam bekerja. d. Suasana dalam Bekerja SS S C TS STS 18 Keterbukaan dalam menyampaikan pendapat baik kepada rekan sekerja maupun pimpinan. 19 Hubungan keakraban antara pimpinan dengan bawahan. 20 Terjalinnya Kerjasama Tim yang bai k dalam menyelesaikan pekerjaan 21 Lingkungan tempat kerja nyaman dan aman 22 Jika terdapat permasalahan selama bekerja dapat diselesaikan dengan cara musyawarah 23 Tersedianya sarana dan prasarana untuk memperoleh informasi e. Pekerjaan dan Tanggung jawab SS S C TS STS 24 Pekerjaan yang saya kerjakan adalah merupakan kewajiban saya terhadap RS ini 25 Saya merasa mampu untuk melaksanakan tugas-tugas yang diberikan RS selama ini 26 Saya merasa senang dengan pekerjaan saya sekarang karena cocok dengan kepribadian saya 27 Saya merasa tidak mengalami kesulitan dalam beradaptasi disini sehingga dengan cepat bisa menyesuaikan dengan pekerjaan ini 28 Ketrampilan dan kemampuan yang saya punyai sangat berguna didalam menyelesaikan semua tugas saya 29 Telah ada kesesuaian antara tanggung jawab perusahaan terhadap karyawan dengan tugas yang dibebankan kepada para karyawan 30 Saya akan bertanggung jawab penuh terhadap pekerjaan yang dibebankan kepada saya saat ini. Referensi Alex S .Nitisemito, 2010, Manajemen Personalia, Ghalia Indonesia, Jakarta As’ad. 2004. Psikologi Industri. Yogjakarta : Liberty. Basu Swastha. 2002. Pengantar Bisnis Modern, Liberty, Yogyakarta, Gaspersz Vincent. 2005. Sistem Manajemen Teritegrasi Balanced Scorecard dengan Six Sigma Untuk Organisasi Bisnis Dan Pemerintah: Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Hasibuan, M. S. P. 2007. Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: Bumi Aksara. Imelda, R. H. N. 2004. Implementasi Balanced Scorecard pada Organisasi Publik. Jurnal Akuntansi dan Keuangan 6(2): 106-122. Lockwood D. 2006. Leprosy. Clinical Evidence, 4: 1- 13 Luthans, Fred, 2006, Perilaku Organisasi, Yogyakarta: Penerbit Andi. Mathis, R. L., & Jackson, J. H. 2008. Human resource management (10th ed.). Jakarta: Salemba Empat. Nasution. 2001. Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management), Anggota IKPI, Ghalia Indonesia: Jakarta. Niven R. Paul. 2007. Balanced Scorecard Diagnistics, Mempertahankan Kinerja Maksimal: Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta. Rivai, Veithzal. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Perusahaan Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Murai Kencana Robbins, P Stephen. 1996. Organizational Behavior: Concepts, Controversies, and Applications – 5/E. Prentice Hall, New Jersey. Susilo, Sri Y,dkk, 2000. Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta. Umar, Husein. 2004. Riset Sumber Daya Manusia Dalam Organisasi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Wexley, Kenneth. And Gary Yukl. 1992. Perilaku Organisasi dan Psikologi Personalia. Jakarta: Rineka Cipta. IMPLEMENTASI BALANCED SCORECARD PADA STUDI KASUS RUMAH SAKIT X Contoh implementasi Balanced Scorecard akan dibahas detail di bab ini. Kasus yang diambil adalah penilaian kinerja berdasarkan penelitian pada Rumah Sakit X. Bagaimana penilaian kinerja selama ini jika diukur menggunakan konsep Balanced Scorecard dengan keempat perspektif yang ada, yaitu perspektif keuangan, konsumen, proses internal bisnis serta pembelajaran dan pertumbuhan. Ada berbagai macam jenis dan sumber untuk melakukan kinerja dengan konsep Balanced Scorecard, semua tergantung pada organisasinya. Kebijakan pimpinan juga akan mempengaruhi bentuk daripada penilaian kinerja ini. A. Hasil penilaian kinerja perspektif keuangan Pengukuran perspektif keuangan dilakukan melalui 5 tolak ukur menggunakan rasio keuangan, antara lain : 1. Rasio Ekonomi Rasio ini menggambarkan kehematan dalam penggunaan anggaran dan kecermatan dalam pengelolaan serta menghindari pemborosan. Bagaimana kemampuan rumah sakit dalam mengelola pendapatan dan mengukur realisasi pengeluaran dengan anggaran pengeluaran rumah sakit. Tabel 7.1 Hasil Pengukuran Rasio Ekonomis Tahun Pengeluaran (Belanja) Prosentase Kriteria Kinerja Anggaran (Rp) Realisasi (Rp) 1 2 3 4=(3/2)*100 2016 15.030.298.610 13.053.219.366 87% Ekonomis 2017 17.032.416.497 12.560.194.435 74% 2. Rasio Efisiensi Pengukuran rasio efisiensi bertujuan untuk melihat penurunan biaya operasi dalam hubungan dengan pendapatan yang digunakan. Tabel 7.2 Hasil Pengukuran Rasio Efisiensi Tahun Pendapatan (Rp) Pengeluaran (Rp) Prosentase Kriteria Kinerja 1 2 3 4=(3/2)*100 2016 14.241.165.450 13.053.219.366 92% Kurang Efisien 2017 13.421.117.174 12.560.194.435 94% 3. Rasio Efektifitas Pengukuran Rasio Efektivitas berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan, selain itu rasio ini juga menggambarkan kemampuan rumah sakit dalam upaya mencapai target-target yang telah ditetapkan dalam hal pendapatan. Tabel 7.3 Hasil Pengukuran Rasio Efektifitas Tahun Pendapatan Prosentase Kriteria Kinerja Target (Rp) Realisasi (Rp) 1 2 3 4= (3/2)*100 2016 15.030.298.610 14.241.165.450 95% Efektif 2017 17.032.416.497 13.421.117.174 79% Kurang Efektif 4. NPM (Net Profit Margin) Indikator NPM (Net Profit Margin) digunakan untuk melihat besar kecilnya laba bersih dalam hubungannya dengan penjualan/pendapatan untuk mengetahui efisiensi rumah sakit dimana semakin tinggi, maka akan semakin baik operasi perusahaan. NPM dinilai baik, bila selama periode pengamatan hasil perhitungan NPM mengalami peningkatan, dinilai cukup baik apabila konstan dan dinilai kurang apabila mengalami penurunan. Tabel 7.4 Hasil Pengukuran NPM (Net Profit Margin) Tahun Laba Bersih Pendapatan NPM (Laba Bersih /Pendapatan)x 100% Kriteria Kinerja 2016 873.482.025 14.241.165.450 6,13% Kurang 2017 566.033.548 13.421.117.174 4,22% 5. ROI (Return on Invesment) Indikator ROI (Return On Investment) bertujuan untuk mengukur peningkatan laba bersih yang dihasilkan oleh rumah sakit yang diukur dengan membagi persentase laba bersih dengan aktiva atau dengan kata lain untuk mengukur kemampuan modal yang diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva untuk menghasilkan keuntungan bersih. Berdasarkan penilaian investasi kelayakan usaha, apabila tingkat ROI lebih dari 5% berarti telah dianggap layak. Tabel 7.5 Hasil Pengukuran ROI Tahun Laba Bersih Total Aset ROI (Laba Bersih/ Total Aset)x 100% Kriteria Kinerja 2016 873.482.025 3.963.935.015 22,04% Investasi Layak 2017 566.033.548 4.851.325.171 11,67% B. Hasil penilaian kinerja perspektif Konsumen 1. Tingkat Kepuasan Konsumen Tabel 7.6 Pengukuan Kepuasan Pasien Rawat Inap No Indikator Kriteria Kepuasan Jumlah Baik Cukup kurang 1 Bukti Fisik (Tangible) Frek 58 30 1 89 % 65,2% 33,7% 1,1% 100% 2 Kepercayaan (Realibility) Frek 65 23 1 89 % 73% 25,8% 1,1% 100% 3 Daya Tanggap (Responsiveness) Frek 52 34 3 89 % 55,4% 38,2% 3,4% 100% 4 Kepastian (Assurance) Frek 55 33 1 89 % 61,8% 37,1% 1,1% 100% 5 Empati (Empaty) Frek 53 35 1 89 % 59,6% 39,3% 1,1% 100% 6 Biaya Frek 57 31 1 89 % 64% 34,8% 1,1% 100% 7 Intensitas Layanan Frek 52 37 0 89 % 58,4% 41,6% 0% 100% Pengukuran kepuasan pasien rawat inap dengan enam indikator yang ada yaitu bukti fisik (Tangible), kepercayaan (Realibility), daya tanggap (Responsiveness), kepastian (Assurance), empati, biaya dan intensitas layanan. Semua indikator tersebut menunjukkan nilai kepuasan pasien yang baik dengan nilai berada diatas 50%. Indikator kepercayaan menunjukkan nilai tertinggi yaitu mencapai 73% dimana pasien merasa pelayanan yang diberikan telah sesuai dengan kebutuhan pasien, petugas RS segera memberikan tindakan perawatan untuk kesembuhan pasien tanpa membedakan kelas perawatan pada instalasi rawat inap. Tabel 7.7 Pengukuan Kepuasan Pasien Rawat Jalan No Indikator Kriteria Kepuasan Jumlah Baik Cukup kurang 1 Bukti Fisik (Tangible) Frek 92 43 0 135 % 68,1% 31,9% 0% 100% 2 Kepercayaan (Realibility) Frek 103 31 1 135 % 76,3% 23% 6,7% 100% 3 Daya Tanggap (Responsiveness) Frek 105 29 1 135 % 77,8% 21,5% 0,7% 100% 4 Kepastian (Assurance) Frek 86 49 0 135 % 63,7% 36,3% 0% 100% 5 Empati (Empaty) Frek 82 53 0 135 % 60,7% 39,3% 0% 100% 6 Biaya Frek 89 46 0 135 % 65,9% 34,1% 0% 100% 7 Intensitas Layanan Frek 96 39 0 135 % 71,1% 28,9% 0% 100% Pengukuran kepuasan pasien rawat jalan dengan enam indikator yang ada yaitu bukti fisik (Tangible), kepercayaan (Realibility), daya tanggap (Responsiveness), kepastian (Assurance), empati, biaya dan intensitas layanan. Semua indikator tersebut menunjukkan nilai kepuasan pasien yang baik dengan nilai berada diatas 50%. Indikator daya tanggap menunjukkan nilai tertinggi yaitu mencapai 77,8%. Petugas RS memberikan tanggapan yang baik, memberikan informasi tentang yang dibutuhkan pasien, menerima asdanya keluhan-keluhan dan berusaha melakukan tindakan untuk mempertahankan layanan yang baik. 2. Tingkat Profitabilitas Konsumen Tabel 7.8 Pengukuran Profitabilitas Konsumen Tahun Laba Operasi Total Pendapatan Profitabilitas(%) 2016 1.187.946.059 14.241.165.450 8,34% 2017 860.922.739 13.421.117.174 6,4% Hasil dari pengukuran profitabilitas menunjukkan ada penurunan tingkat keuntungan konsumen dari tahun 2016-2017 sebesar 1,94% kondisi ini kurang baik bagi pengelolaan Rumah sakit. Diperlukan kebijakan-kebijakan tertentu untuk meningkatkan profitabilitas selain didukung oleh peningkatan retensi dan akuisisi. 3. Kemampuan Mempertahankan Konsumen/ Retensi Tabel 7.9 Pengukuran Retensi tahun 2016 No Instalasi Lama Baru Jumlah Retensi 1 Rawat Inap 1653 1902 3555 46,50% 2 Rawat Jalan 4604 3841 8445 54,50% 3 IGD 78 83 161 48,45% 4 Kamar Operasi 569 450 1019 55,84% Tabel 7.10 Pengukuran Retensi tahun 2017 No Instalasi Lama Baru Jumlah Retensi 1 Rawat Inap 953 1930 2883 33,06 2 Rawat Jalan 6973 2309 9282 75,12 3 IGD 1366 1049 2415 56,56 4 Kamar Operasi 339 384 723 46,89 Pengukuran retensi dilakukan menyeluruh pada semua instalasi yang berhubungan langsung dengan konsumen/pasien, dimulai dari rawat inap, rawat jalan, instalasi gawat darurat dan kamar operasi. Terlihat bahwa terjadi penurunan retensi pada rawat inap dari tahun 2016-2017 sebesar 13,44%. Pada rawat jalan terjadi peningkatan yang cukup signifikan untuk mempertahankan pasien, kenaikan dari tahun 2016-2017 sebesar 20,62%. Pada instalasi gawat darurat juga terjadi peningkatan nilai dari tahun 2016-2017 sebesar 8,11% sedangkan instalasi kamar operasi terjadi penurunan dari tahun 2016-2017 sebesar 8,95%. 4. Kemampuan Meraih Konsumen Baru / Akuisisi Tabel 7.11 Pengukuran Akuisis tahun 2016 No Instalasi Lama Baru Jumlah Akuisisi 1 Rawat Inap 1653 1902 3555 53,50% 2 Rawat Jalan 4604 3841 8445 45,48% 3 IGD 78 83 161 51,55% 4 Kamar Operasi 569 450 1019 44,16% Tabel 7.12 Pengukuran Akuisis tahun 2017 No Instalasi Lama Baru Jumlah Akuisisi 1 Rawat Inap 953 1930 2883 66,94 2 Rawat Jalan 6973 2309 9282 24,88 3 IGD 1366 1049 2415 43,44 4 Kamar Operasi 339 384 723 53,11 Pengukuran akuisisi juga dilakukan menyeluruh pada semua instalasi yang berhubungan langsung dengan konsumen/pasien, dimulai dari rawat inap, rawat jalan, instalasi gawat darurat dan kamar operasi. Terlihat bahwa terjadi penurunan retensi pada rawat inap dari tahun 2016-2017 sebesar 13,44%. Pada rawat jalan terjadi penurunan dari tahun 2016-2017 sebesar 20,6%. Pada instalasi gawat darurat juga terjadi penurunan nilai dari tahun 2016-2017 sebesar 8,11% sedangkan instalasi kamar operasi terjadi peningkatan dari tahun 2016-2017 sebesar 8,95%. 5. Hubungan Frekuensi Kunjungan Berobat dengan Kepuasan Konsumen Tabel 7.13 Pengukuran Tabulasi Silang Frekuensi Kunjungan Berobat dengan Kepuasan Pasien Rawat Inap No Lama Berobat Kriteria Kepuasan Jumlah Kurang Cukup Baik 1 1 – 2 kali Frek 0 19 69 88 % 0% 14,1% 51,1% 65,2% 2 3 – 5 kali Frek 0 6 32 38 % 0% 4,4% 23,7% 28,1% 3 5 kali pasien yang mengatakan kepuasan baik sebanyak 8 pasien (5,9%). Dari jumlah keseluruhan pasien rawat inap sebanyak 135 pasien hampir keseluruhan kepuasannya baik yaitu mencapai nilai 80,7% hal ini sangat menguntungkan rumahsakit dan bisa menunjukkan kinerja pelayanan yang memuaskan bagi semua pasien. Pengukuran symetric measures dengan menggunakan IBM SPSS 24 dengan nilai koefisien korelasi rho sebesar 0,084 dengan tingkat signifikansi 0,331 nilai signifikansi tersebut berada diatas 0,05 maka Ho diterima H1 ditolak hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara lama berobat dengan kepuasan pasien rawat inap. Ini ditunjukkan dengan nilai tabulasi silang diatas, meskipun pasien baru datang berobat maupun lebih dari 5 kali berobat mereka tetap merasakan kepuasan yang baik dari pelayanan yang diberikan oleh pihak rumahsakit. Tabel 7.14 Pengukuran Tabulasi Silang Frekuensi Kunjungan Berobat dengan Kepuasan Konsumen Rawat Jalan No Lama Berobat Kriteria Kepuasan Jumlah Kurang Cukup Baik 1 – 2 kali Frek 1 12 24 37 % 1,1% 13,5% 27,0% 41,5% 3 – 5 kali Frek 0 9 15 24 % 0% 10,1% 16,9% 27,0% 5 kali pasien yang mengatakan kepuasan baik sebanyak 22 pasien(24,7%). Dari jumlah keseluruhan pasien rawat jalan sebanyak 89 pasien hampir keseluruhan kepuasannya baik yaitu mencapai nilai 68,5% hal ini sangat menguntungkan rumahsakit dan bisa menunjukkan kinerja pelayanan yang memuaskan bagi semua pasien. Pengukuran symetric measures dengan menggunakan IBM SPSS 24 dengan nilai korelasi rho sebesar 0,122 dengan tingkat signifikansi 0,256 nilai signifikansi tersebut berada diatas 0,05 maka Ho diterima H1 ditolak hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara lama berobat dengan kepuasan pasien rawat jalan. Ini ditunjukkan dengan nilai tabulasi silang diatas, meskipun pasien baru datang berobat maupun lebih dari 5 kali berobat mereka tetap merasakan kepuasan yang baik dari pelayanan yang diberikan oleh pihak rumahsakit. C. Hasil penilaian kinerja perspektif Proses Internal Bisnis. 1. Inovasi Inovasi = Pendapatan Jasa Baru x 100% Total Pendapatan 2. Operasi 1) Average Length of Stay (ALOS) 2) Bed Occupancy Rate (BOR) 3) Turn Over Internal (TOI) 4) Bed Turnover Ratio (BTO) 5) Gross Death Rate (GDR) 6) Net Death rate (NDR) Tabel 7.15 Hasil Operasi Internal Bisnis Keterangan Tahun Standar 2016 2017 BOR (%) 55,80% 48,80% 60-85 TOI (hari) 2,37 3,37 1-3 BTO (kali) 67 56,4 40-50 ALOS (hari) 2,3 2,2 6- 9 GDR (%) 4,0% 8,3% ≤ 45 NDR (%) 1,7% 5,9% < 25 Hasil operasi internal bisnis dapat diperjelas sebagai berikut : 1. BOR (Bed Occupancy Rate) Tingkat toleransi atau standar BOR yang telah ditetapkan oleh Depkes RI sebesar 60%-85%, artinya jika BOR kurang dari atau dibawah 60% menunjukkan rendahnya penggunaan tingkat unian tempat tidur rumah sakit. Jika lebih dari 85% menunjukkan bahwa tingkat penggunaan unian tempat tidur rumah sakit cukup tinggi. Prosentase BOR pada tahun 2016 sebesar 55,80%, sedangkan pada tahun 2017 sebesar 48,80%. Maka dapat disimpulkan bahwa pada tahun-tahun tersebut tingkat BOR di RS X kurang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI. Nilai berada dibawah standart ini berarti penggunaan tingkat unian tempat tidur rumah sakit rendah. Hal ini diperkuat dengan tingkat kunjungan pasien baru dibeberapa kamar/ kelas mengalami penurunan. 2. TOI (Turn Over Internal) Tingkat toleransi atau standar TOI yang telah ditetapkan oleh Depkes RI sebesar satu sampai dengan tiga hari. TOI menunjukkan jeda pemakaian tempat tidur antara pasien lama dengan pasien baru. Besarnya TOI pada tahun 2016 sebesar 2,37 hari, sedangkan pada tahun 2017 sebesar 3,37 hari. Maka dapat disimpulkan bahwa rumah sakit cepat dan tanggap dalam melakukan pelayanan terhadap pasien sehingga jeda pemakaian tempat tidur tidak sampai melebihi standar yang telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI. 3. BTO (Bed Turn Ov er Ratio) Tingkat toleransi atau standar BTO yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebesar 40 kali-50 kali, BTO menunjukkan frekuensi tingkat pemakaian tempat tidur yang digunakan pasien dalam satu periode tertentu. Artinya jika BTO kurang dari atau dibawah 40 kali menunjukkan rendahnya penggunaan tingkat tempat tidur rumah sakit dan dapat dikatakan bahwa rumah sakit tersebut kekurangan kunjungan pasien. Jika lebih dari 50 kali menunjukkan bahwa tingkat penggunaan tempat tidur rumah sakit cukup tinggi, Prosentase BTO pada tahun 2016 sebesar 67 kali, sedangkan pada tahun 2017 sebesar 56,4 kali. Maka dapat disimpulkan bahwa besar prosentase BTO melebihi dari standar yang telah ditetapkan Departemen Kesehatan RI. Artinya pada tahun 2016 jumlah penambahan tempat tidur pasien tidak seimbang dengan jumlah pasien yang masuk dan dimungkinkan hal ini dapat terjadi dikarenakan pada tahun 2017 telah terjadi peningkatan jumlah kunjungan pasien. 4. ALOS (Average Leght of Stay) Perhitungan ALOS untuk mengetahui rata-rata jumlah hari pasien di rawat. Tingkat toleransi atau standar ALOS yang telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI adalah enam sampai dengan sembilan hari. Berdasarkan tabel diatas, besarnya ALOS pada tahun 2016 adalah 2,3 hari sedangkan pada tahun 2017 besarnya ALOS adalah 2, 22 hari. Artinya pada tahun-tahun tersebut tingkat ALOS masih berada dibawah standar yang telah ditetapkan Depkes RI, dengan kata lain rata-rata pasien RS X pulang lebih cepat dari standar minimun. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain: kondisi pasien sudah membaik atau pulih sebelum tiga hari, pasien pulang paksa atas kehendak diri sendiri atau keluarga untuk dirawat di rumah. 5. GDR (Gross Death Rate) Tingkat toleransi atau standar GDR yang telah ditetapkan oleh Depkes RI adalah ≤ 45%. Prosentase GDR menunjukkan tingkat kematian pasien di rumah sakit secara keseluruhan. Jika GDR rumah sakit dari tahun ke tahun dapat menunjukkan penurunan, maka dapat dikatakan rumah sakit tersebut mengalami peningkatan kinerja dalam melakukan pelayanan terhadap pasien selama proses penyembuhan. Berdasarkan tabel diatas pada tahun 2016 menunjukkan tingkat GDR sebesar 4% sedangkan pada tahun 2017 menunjukkan tingkat GDR sebesar 8,3%. Artinya pada tahun-tahun tersebut tingkat GDR RS X dibawah batas toleransi atau sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Hal ini bisa menunjukkan RS mengalami peningkatan kinerja dalam melakukan pelayanan terhadap pasien selama proses penyembuhan 6. NDR (Net Death Rate) Tingkat toleransi atau standar NDR yang telah ditetapkan oleh Depkes RI adalah ≤ 25%. NDR menunjukkan tingkat kematian pasien yang dihitung setelah 48 jam dirawat. Pada umumnya jika NDR rumah sakit menunjukkan dari tahun ke tahun mengalami penurunan, rumah sakit tersebut mengalami peningkatan kinerja dalam melakukan pelayanan dan penanganan terhadap pasien selama proses penyembuhan dan pemulihan. Tingkat NDR pada tahun 2016 menunjukkan 1,7% sedangkan pada tahun 2017 sebesar 5,9%. Hal ini mengandung arti bahwa tingkat NDR RS X pada tahun-tahun tersebut dapat dikatakan baik karena berada ≤ 25%, ada peningkatan kinerja dalam pelayanan selama proses penyembuhan dan pemulihan. D. Hasil penilaian kinerja perspektif Pembelajaran dan pertumbuhan. 1. Produktivitas karyawan Produktivitas karyawan bertujuan untuk mengukur peningkatan produktivitas karyawan, yang diukur dengan membandingkan laba operasi dengan jumlah karyawan pada periode pengamatan. Tabel 7.16 Pengukuran Produktivitas Karyawan Tahun Laba Operasi Total Karyawan Laba Operasi/ Jumlah Karyawan Kinerja 2016 873.482.025 106 8.240.396 Kurang 2017 566.033.548 110 5.145.759 Hasil perhitungan Produktivitas Karyawan mengalami penurunan sebesar RP 3.094.637 dari 2016 -2017 sehingga kinerja perspektif pembelajaran dan pertumbuhan dilihat dari produktivitas karyawan dapat dikatakan kurang. 2. Perputaran karyawan Pengukuran indikator Retensi karyawan bertujuan untuk mengukur kemampuan rumah sakit dalam mempertahankan hubungan yang baik dengan karyawan. Pengukuran pada indikator ini dengan cara membandingkan jumlah karyawan yang keluar dengan jumlah karyawan pada periode pengamatan. Tabel 7.17 Hasil Pengukuran Perputaran Karyawan Tahun Jumlah KaryawanKeluar Jumlah Karyawan (Jumlah Karyawan Keluar/Jumlah Karyawan X 100%) Kriteria KInerja 2016 22 106 20,75% Baik 2017 17 110 15,45% Hasil pengukuran perputaran karyawan menunjukkan adanya penurunan pada tahun 2017 hal ini sangat baik bagi pertumbuhan lingkungan kerja, semakin sedikit jumlah karyawan yang keluar semakin baik. Kinerja perputaran karyawan dikatakan baik, rumahsakit dapat mempertahankan jumlah karyawannya. Salahsatu caranya dengan memberikan motivasi pada karyawan, memperhatikan jenjang karir karyawan serta menciptakan suasana kerja yang aman dan nyaman. 3. Kepuasan karyawan Tabel 7.18 Pengukuran Kepuasan Karyawan No Indikator Kriteria Kepuasan Jumlah Baik Cukup kurang 1 Motivasi Frek 56 29 1 86 % 65,1% 33,9% 1,2% 100% 2 Pengembangan Diri Frek 69 17 0 86 % 80,2% 19,8% 0% 100% 3 Kepemimpinan Frek 63 22 1 86 % 73,3% 25,6% 1,2% 100% 4 Suasana Kerja Frek 60 23 3 86 % 69,8% 26,7% 3,5% 100% 5 Pekerjaan dan Tanggung jawab Frek 60 25 1 86 % 69,8% 29,1% 1,2% 100% Kepuasan karyawan dijabarkan dalam lima indikator yang ada yaitu motivasi, pengembangan diri, kepemimpinan, suasana kerja serta pekerjaan dan tanggung jawab. Secara garis besar dari semua indikator yang ada karyawan merasa puas dalam bekerja. Kepuasan dalam katagori baik lebih mendominasi nilainya hampir berada ditasa 50%, hal ini akan menguntungkan pihak rumahsakit karena karyawan sebagai penunjang pelaksanaan kualitas layanan yang prima. 4. Hubungan masa kerja dengan kepuasan karyawan Tabel 7.19 Tabulasi silang antara masa kerja dengan kepuasan karyawan No Masa Kerja Kriteria Kepuasan Jumlah Baik Cukup Kurang 1 10 tahun Frek 3 2 0 5 % 3,49% 2,3% 0% 5,8% Jumlah Frek 62 23 1 86 % 72,1% 26,7% 1,2% 100% Symmetric Measures Value AsymptoticStandard Errora Approximate Tb Approximate Significance Interval by Interval Pearson’s R -,321 ,119 -3,110 ,003c Ordinal by Ordinal Spearman Correlation -,434 ,111 -4,420 ,000c N of Valid Cases 86 a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation. Tabulasi silang antara masa kerja dengan kepuasan karyawan terlihat masa kerja <5 tahun yang mengatakan kepuasan dalam katagori baik sejumlah 67,4% jumlah ini cukup mendominasi dari pada masa kerja yang selain 10 tahun hanya 3 orang. Pengukuran symetric measures menggunakan IBM SPSS 24 dengan hasil koefisien korelasi rho sebesar -0,434 dengan tingkat signifikansi 0,000. Nilai signifikansi 0,000 <0,05 maka H0 ditolah H1 diterima artinya ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan kepuasan kerja karyawan. Nilai koefisien korelasi yang minus (-) berarti adanya hubungan yang berlawana arah yaitu semakin kecil masa kerja seseorang maka kepuasannya akan semakin meningkat. RIWAYAT HIDUP PENULIS DATA PRIBADI Nama Lengkap : Lailatus Sa’adah, SE.MM Tempat /tanggal lahir : Jombang, 24 Desember 1976 Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Status Perkawinan : Menikah Pendidikan Terakhir : Magister Managemen PENDIDIKAN FORMAL a. Sekolah Dasar ( 1984 – 1989) b. Sekolah Menengah Pertama (1989 – 1992) c. Sekolah Menengah Atas (1992 – 1995) d. Sarjana Ekonomi (S1) Universitas Merdeka Malang. Jurusan : Ekonomi Manajemen. (1995 – 2000) e. Magister Management (S2) Universitas Merdeka Malang. f. Konsentrasi : Manajemen Sumber Daya Manusia. (2000 – 2002) NON FORMAL a. Mengikuti pelatihan Statistik di UNAIR tahun 2010 b. Mengikuti pelatihan system penjaminan mutu (QA) tahun 2013 c. Pelatihan penulisan proposal penelitian stimulus peningkatan sumberdaya peneliti perguruan Tinggi dg Direktorat Litbang Ditjen Dikti Kemendikbud tahun 2013 PENGALAMAN KERJA : a. Dosen AKPER BU tahun 2002 b. Dosen SIKES BU tahun 2008 c. Kabag. Kepegawaian STIKES BU tahun 2008 d. Pembantu Ketua 2 bag. Keuangan STIKES BU (2009-2012) e. Dosen Fakultas Ekonomi Universitas KH.Wahab Hasbullah (2014 – sekarang) PENGAMPU DALAM MATA KULIAH : a. Statistik I b. Statistik II c. Perpajakan d. Manajemen Keuangan e. Akuntansi Manajemen f. Metode Penelitian KONTAK: Alamat : Jl. KH. Wahab Hasbullah / PP. Salafiyah no.40 Jombang Telepon/HP : 085259729924 Email :
[email protected]
Demikian Riwayat Hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Hormat saya, Lailatus Sa’adah, SE. MM
Lailatus Sa’adah & Moh. Ja’far Sodiq Maksum
Profesi/Instansi
Buku yang di Terbitkan
Buku Balanced Scorecard Teori Dan Aplikasi
Rp
99.000
Tambah ke keranjang