Farmy Setiawan Radjatadoe, S.Kom.

Saya tidak tumbuh untuk menjadi penulis. Saya hanya terlalu sering dihampiri kegelisahan yang keras kepala—ia menolak pergi sebelum saya menuliskannya. Maka menulis bukan pilihan, tapi semacam nasib: cara paling waras untuk menghadapi dunia yang makin gemar menyamar sebagai kebenaran.

Saya menjejak di tiga tanah yang jarang bersisian: politik, komputer, dan sastra. Ilmu komputer membawa saya ke dunia logika dan sistem; politik memperlihatkan wajah kekuasaan yang tak selalu punya bentuk; dan sastra memberi ruang untuk menyimak sunyi, tempat semua pertanyaan bermuara.

Saya dulu percaya bahwa keteraturan bisa menjelaskan segalanya—karena itu saya belajar komputer. Tapi saya segera sadar: manusia bukan baris kode. Kita hidup dalam hal-hal yang tak terukur—emosi, luka, absurditas, dan rindu. Mesin bisa menghitung, tapi tak bisa merasakan mengapa kita diam di depan rumah yang sudah lama tak kita tinggali.