There are winners, there are losers and there are people who have not yet learned how to win. — Leslie C. Brown
Jika kamu sudah berani menginginkan kesuksesan, berani merancang sebuah gol besar, belumlah menjadi jaminan untuk mencapai kesuksesan. Karena perjalanan ribuan mil yang sudah diputuskan, harus dimulai selangkah demi selangkah, tentu saja perjalanan itu masih panjang. Berapa lama kita akan sampai? relatif. Jika kita berjalan lurus saja dan ngebut, pasti akan cepat santai. Namun sayangnya, jalan yang akan kita lalui itu pasti berliku-liku, kadang-kadang macet, penuh rintangan, dan berlubang-lubang. Sekarang, tergantung pengemudinya sendiri, lihai dan ahli mengatasinya atau tidak, atau bahkan memutuskan untuk “pulang” lagi gak jadi pergi (alias hidup jalan ditempat sampai mati).
Kabar baiknya, semua rintangan yang ada dijalan itu bisa kita minimalisir jika kita tahu caranya. Banyaknya rintangan biasanya disebabkan oleh sikap dan perilaku yang kurang efektif saja. Dalam konteks ini kita sebut mental pecundang. Yakni mental yang mencundangi kita, menyabotase pikiran-pikiran positif, dan menghambat kita untuk maju. Bagaimana kita mengatasi mental pecundang ini sangat dipengaruhi oleh Belief Systems kita sendiri.
Belief Systems
Sistem keyakinan (belief systems) adalah sumber alasan/motif/latar belakang seseorang dalam bertindak (bersikap dan berperilaku). Sistem keyakinan ini dapat memberi dorongan untuk berkarya, maju, namun juga dapat memberi alasan atau pembenaran untuk menolak atau menentang atau membela diri (jika bersalah tidak mau disalahkan).
Contoh: Jika anda percaya berjalan diatas bara api, maka anda memang akan baik-baik saja. Namun jika anda percaya bahwa berjalan diatas bara api akan melelehkan kaki anda, maka anda akan takut dan menolak untuk mencobanya.
Keyakinan tidak saja dapat mempengaruhi tindakan, sikap dan perilaku. Ia juga dapat mempengaruhi bahkan mengubah persepsi.
Contoh: Persepsi bahwa anak-anak yang berdiri di pinggir jalan lampu merah adalah anak jalanan. Jadi jika ada seorang anak yang mengetuk-ngetuk jendela mobil anda, anda akan mengayuhkan tangan untuk menolaknya memberi receh. Anak itu tetap saja mengetuk-ngetuk jendela mobil anda, dan anda semakin intens menggoyangkan tangan anda. Lalu datanglah penjual koran, dan ia ikut mengetuk jendela mobil anda. Dari situ keyakinan anda mulai berubah sebab persepsi anda tentang penjual koran berbeda dari anak kecil tersebut. Setelah anda membuka jendela, ternyata anak kecil itu hanya sedang menyeberang jalan dan kebetulan melihat ban mobil anda bocor, serta ingin memberi tahu anda, bukan ingin meminta uang receh.
Sudah menjadi pengetahuan umum jika seseorang percaya ia bisa menyelesaikan suatu tugas sulit dengan berhasil, ia akan menemukan jalan untuk melakukan dan mencapainya. Sebaliknya, bila ia percaya tidak memiliki kemampuan dan bodoh, maka mandeklah ia walaupun tugasnya seringan apapun. Berdiri di sisi keyakinan yang salah dapat berbahaya dan membingungkan orang lain, sebab pada dasarnya, keyakinan itu sulit diubah melalui rasionalisasi dan logika. Ia hanya dapat diubah dengan hati dan keimanan.
Keyakinan tentang diri sendiri, saya pasti berhasil/gagal akan membawa dampak sangat besar terhadap efektivitas seseorang dalam melakukan pekerjaannya sehari-hari. Telah banyak bukti memperlihatkan kepada kita betapa besarnya pengaruh keyakinan terhadap kehidupan seorang manusia, baik keyakinan baik dan membangun, maupun keyakinan buruk dan merusak.
Contoh : Suatu percobaan dilakukan di sekolah dasar di USA. Sekelompok anak-anak yang semula duduk di kelas yang sama, dengan tingkat kecerdasan dan daya tangkap pelajaran yang sama kemudian dibagi menjadi dua kelas (A dan B) dan diserahkan kepada dua orang guru yang berbeda. Kepada guru kelas A diberitahukan bahwa anak-anak di kelasnya berbakat dan cerdas-cerdas. Kepada guru kelas B diberitahukan bahwa anak-anak di kelasnya lamban menangkap pelajaran dan bodoh. Setahun kemudian, anak-anak kedua kelas itu dites, ternyata kelas A mendapat nilai lebih baik dari kelas B.
Contoh diatas menunjukkan kepada kita bahwa sistem keyakinan yang terbentuk karena pengaruh lingkungan, orang tua, guru-guru, media, teman-teman, dan sosial budaya di mana kita tumbuh memang sulit (tapi masih mungkin) untuk diubah. Satu-satunya cara mengubahnya adalah dengan “kemauan” merekonstruksi pikiran, unlearn (menghapus apa yang sudah kita pelajari dan yakini), dan mengadakan perubahan pola pikir serta pola hidup total.
Ingatlah, keyakinan yang menguatkan (empowering belief) dan keyakinan yang melemahkan (limiting belief) ibaratnya koin mata uang, terdapat dua sisi yang berlawanan dan selalu bersaing untuk mempengaruhi hidup seseorang. Maka pilihlah sisi yang dapat membuatmu suksesmulia.
“Kita berperilaku sesuai dengan apa yang kita yakini, maka bijaklah dalam meyakini sesuatu.Yakinilah hal yang benar dari sumber yang pasti benar, karena keyakinan yang akan menuntun kita menuju jalan cahaya, ataupun jalan kegelapan.“
Limiting Belief
Limiting belief (keyakinan merusak) adalah ranah operasi mental pecundang yang sering berwujud dalam bentuk ketakutan, kekhawatiran, keresahan, dan kebimbangan. Perasaan-perasaan tersebut dapat memicu sikap dan perilaku skeptis, putus asa, berhenti ditengah jalan, bahkan keluar dari permainan hidup.
Keyakinan merusak dapat dideteksi dari seseorang dengan cara menyimak ucapan-ucapannya ketika sedang mengobrol atau self-talk kita ketika sedang mengambil keputusan. Berikut contohnya, “Kehidupan ini penuh kesulitan”, “Aku selalu sial”, “Barang kali aku memang ditakdirkan jadi orang miskin seperti keluargaku”, “Aku tak mungkin melakukan hal itu, itu terlalu sulit”, “Males ah belajar hal itu, susah, mending yang udah ada aja, gampang”, “Sudah terlambat…”, “Ini terlalu cepat”.
Keyakinan merusak umumnya berpusat pada tiga wilayah berikut :
1. Hopelessness (putus asa, putus harapan)
2. Helplessness (menyerah sebelum bertanding, pasrah, tak berdaya)
3. Worthlessness (tak berguna, tak berharga, percuma, sia-sia)
berikut akan dijabarkan satu per satu solusi dari ketiga ranah diatas.
Hopelessness (Putus Asa)
Kerjakan saja sebaik mungkin apa yang ada di depan mata, dan tidak perlu mengandai-andai negatif hasil akhir yang mungkin akan diperoleh. Manusia wajib melakukan ikhtiar, dan selanjutnya tawakal (menyerahkan hasil sepenuhnya kepada Allah).
Helplessness (Menyerah sebelum bertanding)
Bertanyalah kepada diri sendiri, “Apa yang akan terjadi seandainya aku dapat meraih gol ini? Apa yang akan terjadi seandainya aku melakukan ini? Ingatlah, anda tak akan tahu sampai anda benar-benar mencobanya. Milikilah keyakinan konstruktif, karena keyakinanlah yang memandu kita ke wilayah yang realitasnya belum pernah kita ketahui (namun sudah dirancang oleh Allah; biasa kita kenal dengan istilah Qodar). Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk mengetahui bagaimana kesudahannya adalah dengan mendatangi wilayah itu. Kita semua tahu apa yang telah terjadi di masa lalu, tetapi tidak ada satupun yang tahu apa yang akan terjadi dimasa depan. Tidak ada cara lain, agar masa depan kita baik, kita harus mempercayai diri sendiri, dan berjalan sesuai tujuan serta sasaran yang telah kita rancang.
Worthlessness (Merasa diri tak berharga)
Merasa diri tak berharga terjadi kepada orang yang cerdas dalam suatu hal namun ia merendahkan dirinya sendiri, ia merasa tak diinginkan, tak akan berhasil. Pada akhirnya, ia hanya menjadi sampah dan tanggungan keluarganya saja sampai mati. Ia telah menyia-nyiakan talenta yang telah diberikan Allah kepadanya. Cara agar terlepas dari ini adalah dengan bergaul sesering mungkin dengan komunitas-komunitas yang membangun, saling bekerjasama dengan orang lain, serta rancanglah impian-impian hidup bersama-sama orang lain. Jangan pernah sendirian.