Job Interview and a Blind Dates

Mencari pekerjaan menjadi sebuah agenda sebagian besar lulusan dari berbagai tingkat pendidikan, mulai dari lulusan Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Bukan merupakan rahasia bahwa jumlah pengangguran di Indonesia sangat tinggi, pada tahun 2014 saja jumlahnya mencapai 7,24 juta jiwa (data BPS pada Bulan Agustus 2014, sumber: harian Kompas 5 November 2014). Hal ini menunjukkan bahwa di pasar tenaga kerja masih terdapat gap yang menghalangi pertemuan antara supply dan demand tenaga kerja yang ada.

Berbicara mengenai ketenagakerjaan lebih jauh bagi saya sangat mengasyikkan, terutama karena beberapa bulan ini saya mendalami bidang ini. Beberapa bulan menjalani pekerjaan sebagai seorang Human Capital Staff yang menangani proses rekrutmen dan seleksi, saya menemukan sebuah fakta unik yang membuat saya tersenyum karena saya menemukan sebuah pola. Ya, benar sekali, pola rekrutmen dan seleksi khususnya pada tahap seleksi interview.

Seleksi pada dasarnya merupakan rangkaian proses memilih orang yang sudah dikumpulkan pada tahap rekrutmen, agar sesuai antara kababilitas yang dimiliki para calon yang diseleksi dengan kualifikasi yang dibutuhkan untuk posisi di suatu organisasi. Kata kuncinya memang “SESUAI”, yang di dalamnya banyak parameter yang menjadi tolak ukurnya.

 

Ada sebuah celetukan lucu yang menyatakan bahwa interview pekerjaan itu seperti sebuah kencan buta (a job interview is like a blind date). Interviewer menyeleksi interviewee layaknya seorang matchmaker yang mempertemukan satu lowongan pekerjaan dengan kandidat terkuat dan tentu yang mempunyai potensi besar bisa bekerja sama dengan dirinya. Diantara proses seleksi yang lain, interview ini merupakan proses yang relatif subjektif memang dalam memilih seseorang.

 

Program Afiliasi

Subjektivitas terjadi secara natural, yang paling terlihat tentu saja karena ada unsur like and dislike. Perasaan “klik” merupakan hal yang wajib didapat ketika seorang interviewer memilih interviewee potensial. Sebuah pepatah berbunyi, “Some people love chocholate and some people don’t, some people love peanuts and some people don’t,” yang bisa dimaknai bahwa kita tidak memaksa semua orang menyukai kita seberapa pun menyenangkan kita, namun beberapa kadang lupa yaitu kita bisa memilih menjadi semenyenangkan chocholate atau menjadi semenyenangkan peanuts.

 

Terdapat dua alternatif solusi ketika kita menginginkan sebuah pekerjaan yang mensyaratkan kualifikasi yang lebih tinggi dari pada kualifikasi yang kita punya, keduanya merupakan trade off atau disertai dengan konsekuensi, yaitu:

  1. mengasah skill untuk meningkatkan kualifikasi pribadi; atau
  2. menurunkan standar pekerjaan yang ketinggian kualifikasinya.

Akhir kata, semangat mencari sebuah “klik” ya, Job Seeker!

 

Dyah Puspo Mukti

Tinggalkan komentar