E-Book Budaya Politik Pesantren (Dinamika Patronase Politik Kyai dan Santri)
Pesantren telah menjadi simbol kekuatan sosial dan politik bagi masyarakat Indonesia. Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan dan dakwah, melainkan juga dapat berfungsi sebagai magnet politik. Melalui peran kyai, pesantren muncul menjadi sebuah instrument politik yang sering digunakan oleh aktor politik. Hal ini karena kyai merupakan figure karismatik yang sangat disegani oleh santrinya. Diperkuat lagi dengan budaya sami’na wa atho’na (kami mendengar dan kami taat) menjadi pengikat antara kyai dan santri. Sehingga hubungan yang terjalin antara santri dan kyai membentuk sebuah pola yang dinamakan patronase. Patronase yang berkembang di pesantren dianggap menjadi sebuah budaya yang sulit untuk dihilangkan. Salah satu penyebab kuatnya patronase di pesantren yaitu figure karismatik yang dimiliki kyai. Budaya patronase inilah yang kemudian sering digunakan sebagai magnet politik oleh aktor politik untuk mendapatkan dukungan. Dimana kyai sebagai patron yang memiliki power dan pengaruh bagi santri dan masyarakat. Sedangkan santri merupakan client yang memiliki sikap patuh kepada kyai. Relasi yang terbangun antara kyai dan santri inilah yang kemudian melahirkan patronase politik.
Ada dua faktor yang membuat ikatan antara kyai dan santri terus bertahan, yaitu: pertama, budaya pesantren. Hubungan antara kyai dan santri yang bersifat emosional kultural merupakan ciri khas dari budaya pesantren. Budaya pesantren menjadi pelekat antara kyai dan santri. Kebiasaan-kebiasaan yang berlangsung selama di pesantren tetap dijalankan meskipun tidak hidup dalam pesantren. Kedua, pola komunikasi yang terjalin antara santri dan kyai. Relasi yang begitu kuat antara kyai dan santri sebenarnya berakar dari pola komunikasi yang digunakan selama di dalam pesantren. Komunikasi yang dijalankan melalui kegiatan keagamaan seperti pengajian menjadi jalan penguat silaturahmi bagi santri dan kyai. Selain itu pola hubungan patronase antara santri dan kyai tetap bertahan karena dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Adapun faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri kyai yang menganggap santri adalah sebuah amanah yang harus benar-benar dididik. Sedangkan faktor eksternal berasal dari tradisi orang tua santri yang menganggap kyai sebagai orang tua pengganti selama di dalam pesantren. Sehingga kyai wajib untuk dihormati dan juga dipatuhi.
Ada beberapa nilai dalam pesantren yang turut membentuk hubungan patron client antara kyai dan santri yaitu (1), hubungan patron klien mendasarkan pada pertukaran yang tidak seimbang. Klien (santri) banyak menerima dari patron (kyai). (2) hubungan patron klien bersifat personal. Hubungan ini menciptakan rasa kepercayaan dan ketergantungan diantara kyai dan santri. (3) Hubungan patron tersebar menyeluruh, fleksibel dan tanpa batas waktu. Hal ini dipengaruhi sosialisasi yang dilakukan selama menjadi santri bertahun-tahun. Lalu apakah patronase politik yang terjadi antara kyai dan santri bisa hilang? Jawabannya bisa. Namun biasanya hal ini akan terjadi di pesantren-pesantren modern yang sudah mulai terbuka dengan “dunia luar”. Ditambah lagi dengan berlangsungnya proses demokratisasi. Sehingga perilaku politik para santri dan kyai nya juga beraneka ragam.
Melalui buku “Budaya Politik Pesantren: Dinamika Patronase Politik Kyai dan Santri” ini diharapkan mampu memberikan pemahaman dan pengetahuan yang baru bagi masyarakat dalam mempelajari tentang budaya politik pesantren.
Buku ini terdiri dari beberapa pembahasan, diantaranya:
- Pesantren di Indonesia
- Religio Politik Pesantren
- Budaya Politik Pesantren
- Perilaku Politik Santri
E-Book Budaya Politik Pesantren (Dinamika Patronase Politik Kyai dan Santri) ini diterbitkan oleh Penerbit Deepublish Digital